Ziarah, Uang Gaib, Perdukunan, dan PANDAWA









Foto Credit: https://www.kabarmakkah.com/


HARI Minggu kemarin, 12 Desember, bertemu teman-teman alumni SD. Saya jarang sekali bertepat waktu bisa berkumpul. Selalu saja ada aral, sehingga tidak bisa hadir silaturahim setiap bulan.

Grup alumni SD ini ada WA Grup-nya. Akan tetapi, saya izin mundur dari Grup WA karena soal postingan anggota yang tidak pas dengan saya. Baik-baik saya minta diri. Kepada admin, saya janji akan tetap menjaga silaturahim. Biarlah saya tidak ada di Grup, tapi, tiap kali ngumpul bareng dijadwalkan, lalu tidak ada agenda bersamaan, saya akan hadir seperti hari Minggu kemarin itu.

Pertemuan Minggu kemarin agak berbeda. Meskipun tidak seperti "pengajian resmi", kami membahas materi layaknya kajian, namun dalam kemasan obrolan lepas. Topiknya pun cukup menghentak, gabungan dari pengalaman dan pengetahuan; ziarah, perdukunan, uang gaib, dan saham yang belakangan ramai dibicarakan: PANDAWA.

Dua teman bercerita pengalamannya ziarah. Dua-duanya mengaku diajak grup pengajian yang rutin menyelenggarakan wisata ziarah. Terkuaklah sebagian dari peziarah itu perihal motivasi di balik ziarah yang diikuti. Ada yang karena usaha warungnya sudah mulai seret, maka berangkatlah ia ziarah. Ada yang karena keponakannya sakit menahun, maka berangkat pula ia ziarah. Ada juga yang sekadar ikut-ikutan seperti dua kawan ini. Di mana, di tempat ziarah, dia kebingungan sendiri mau melakukan apa, ia tidak tahu.

Seorang lagi, yang ketiga bercerita menasihati ibunya yang hendak pergi ziarah. Sang ibu harus menjual ayam supaya punya ongkos berangkat.
 
"Mak, kalo mau ziarah, ngapain jauh-jauh. Maksa-maksa harus jual ayam segala buat ongkos. Noh, ziarah ke Kampung Taman. Kan, kuburan orang tua Emak adanya di Taman, bukan di Banten."

Akan tetapi, tak urung, berangkat juga sang Ibu ziarah. Tak apalah kata kawan ini, yang penting ia sudah berusaha mengingatkan.

Giliran saya, saya cerita pengalaman diajak makan ikan bakar di Tanjung Priok. Akan tetapi rupanya, tujuan utamanya adalah ziarah ke makam Mbah Priok. Makan ikan bakar hanya penghantar saja. Walau pada akhirnya saya tidak masuk area dan mengikuti prosesi ziarah di makam, itulah kali pertama saya ikutan ziarah.
 
Sering orang salah persepsi memandang saya "anti ziarah". Mungkin karena tahu afiliasi dari baju yang saya kenakan. Padahal tidak demikian. Pada pertemuan kemarin itu, sebatas pemahaman saya yang minim tentang hukum ziarah kubur, saya sampaikan sekilas.

Saya katakan, ziarah kubur itu baik, bahkan itu perkara sunnah. Nabi juga pernah satu malam mendatangi kuburan Baqi di Madinah untuk berziarah. Hanya saja, supaya ziarah kubur tidak menyimpang dari tujuan pokoknya, ikutilah adab dan tata cara ziarah. Jika ziarah kubur karena membawa motivasi meminta kepada penghuni kubur agar laris dagangan, enteng jodoh, penyakit menahun yang yang tidak kunjung sembuh karena diyakini kuburan yang diziarahi bukan sembarang orang, ini yang belum sepaham dengan saya.

Dalam riwayat yang cukup panjang tentang ziarah kubur, Rasulullah shallaahu 'alihi wa sallam datang malam-malam ke pekuburan Baqi di Madinah. Pada penggalan terakhir riwayat itu, Rasulullah berkata pada Aisyah radhiyallaahu anha: "Jibril berkata kepadaku, "Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku untuk mendatangi penghuni makam Baqi dan memintakan ampunan bagi mereka."
 
Aisyah berkata, apa yang harus aku ucapkan untuk mereka wahai Rasulullah. Beliau menjawab:

"Ucapkanlah semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada penghuni kubur kaum mukmin dan muslim ini. Semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepada yang meninggal terlebih dahulu di antara kami. Ataupun yang akan meninggal belakang. Sesungguhnya kami akan menyusul kalian dengan seizin Allah (HR.Muslim).

Jadi, ziarah kubur itu perkara yang dilakukan Rasulullah, dan ini menjadi contoh. Demikianlah seharusnya kita berziarah. Jadi, jangan sampai karena niatnya salah, ziarah kubur bukan menghidupkan sunnah, tapi malah melakukan perkara yang tidak dibenarkan syari'at.

Begitulah obrolan tentang ziarah kubur yang mentradisi di masyarakat. Namun, saya percaya, tidak semua peziarah membawa motivasi seperti yang diceritakan teman pada pertemuan kemarin itu. Pastilah ada di antara rombongan peziarah yang lurus niat ziarah kuburnya.
 
Demikianlah tentang obrolan ziarah kubur. Yang lebih seru obrolan tentang uang gaib, perdukunan, dan PANDAWA. Rupanya, di antara teman ada "alumni" pemain uang gaib. Bersyukurnya ia bisa lepas karena menuruti nasihat mertuanya. Ceritanya keren. 

Depok, 16 Desember 2021.






Komentari


Bagikan




KAYA KALENG KALENG MISKIN AUTENTIK

Foto credit Reza Fauzi Nazar pada https://geotimes.id/

DALAM hidup, kaya dan miskin selalu berdampingan. Di antara kaya dan miskin, stres menyelinap di tengah-tengah. Jadi jangan heran, ada orang miskin yang stres, orang kaya juga ada yang stres.

Lah, kok bisa? Bisa, sebab stres hampir menjadi milik tiap orang, tak peduli miskin atau kaya. Hanya saja, selama ini, stres dipahami sebatas fenomena orang yang sedang tertawa cekikikan sendirian, nyengir-nyengir sendirian, joged-joged di jalan sendirian, ngomong atau marah-marah sendirian, ditambah penampilan yang kusut masai.

“Bocah stres!”

Begitulah kemudian orang menilai.

Stres

STRES itu reaksi, baik reaksi secara fisik maupun emosional (mental/psikis) apabila ada perubahan dari lingkungan yang mengharuskan seseorang menyesuaikan diri. Kondisi demikian itu, lazim dihadapi semua orang dari waktu ke waktu. Bisa jadi satu kali dalam jangka pendek, bisa juga berulang kali dalam jangka panjang.

Begini contoh gampangnya: Saat Anda sedang berbelanja di supermarket, trolly sudah penuh, posisi sudah di depan kasir. Saat giliran anda membayar, dompet Anda tidak ada di tas. Sementara, semua uang dan kartu ATM ada di sana. Apa yang Anda rasakan?

Anda tentu bereaksi. Reaksi yang paling dekat adalah panik atau atau tergagap-gagap berteriak; “dompet saya hilang!” Tubuh pun bereaksi. Keringat dingin mengembun, jantung lebih cepat berdetak, wajah pucat pasi.

Pada keadaan demikian itu, Anda dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang berubah cepat. Anda harus berpikir keras mencari jalan keluar agar bisa menemukan dompet dan bisa membayar tagihan. Anda juga harus bisa mengatasi tatapan mata orang di sekeliling kasir. Nah, dalam upaya menyesuaikan diri itu, Anda mengalami stres.

Rupanya, dompet Anda bukan pangkal masalah. Anda lupa, dompet bukan ditaruh di dalam tas, tapi di saku celana belakang yang longgar. Masalah Anda selesai. Anda bisa menarik napas lega. Saat masalah sudah teratasi, stres Anda hilang. Ini stres jangka pendek.

Stres jangka panjang biasanya menyangkut relasi dengan orang lain, seperti menghadapi lingkungan kerja yang buruk, kehilangan pekerjaan, tidak ada lagi kecocokan dengan pasangan, atau terkena penyakit tertentu. Kondisi perubahan seperti ini membutuhkan proses penyesuaian jangka panjang. Stresnya pun lebih panjang.

Miskin dan Kaya

Kemiskinan bagi sebagian orang adalah momok, menakutkan, menyedihkan, dan setumpuk stigma buruk. Karena itu, banyak orang berusaha keluar dari kemiskinan.

Akan tetapi, ada pula orang yang tidak peduli pada cap kemiskinan. Bisa jadi, karena ia merasa kaya (baca: merasa cukup), sementara orang menilainya sebagai “orang miskin” dengan ukuran-ukuran kasat mata.

Memang, umumnya orang miskin digambarkan dengan tidak punya rumah. Walaupun punya rumah, rumahnya jelek, sempit, tidak ada perabot bagus, dan berbagai anggapan semisalnya. Atau tidak punya kendaraan, baik roda dua atau roda empat. Itulah umumnya gambaran orang miskin secara kasat mata.

Sebaliknya, bila orang punya rumah bagus dan besar, isi perabotnya mahal, kendaraan pun ada semua, maka ia disebut orang kaya.

Miskin Kaya Stres Juga?

Apakah ada orang stres karena kemiskinan? Ada. Umumnya keadaan ini dialami karena orang tidak siap hidup miskin. Atau salah persepsi tentang kemiskinan. Dikira dengan kemiskinan, hilanglah harga dirinya, lenyaplah kebahagiaannya, dan habislah hidupnya.

Jangan dikira orang kaya tidak mengalami stres. Paling tidak, stresnya orang kaya adalah kebingungan bagaimana caranya menghabiskan uang. Stresnya orang kaya yang lebih kompleks, misalnya menyangkut pengelolaan, pengembangan, dan pengamanan aset. Pendek kata, ia dibikin stres oleh uangnya sendiri.

Ini uniknya dunia stres. Orang kaya stres mikirin belanja apalagi buat menghabiskan uang, orang miskin stres tidak habis-habis hanya sekadar untuk membeli seliter dua liter beras karena tidak punya uang.

Anti Stres

Semakin pandai orang menyikapi urusan dunianya, ia semakin bijak pada kekayaan dan kemiskinan. Semakin pandai orang mengelola urusan akhiratnya, ia semakin mengerti hakikat kekayaan dan kemiskinan. Dan, semakin pandai orang mengelola kehidupan dunia dan akhiratnya, ia semakin menyadari, bahwa kekayaan dan kemiskinan sama-sama ujian. Jadi, ia paham bahwa ia sedang diuji dengan kekayaan atau sedang diuji dengan kemiskinan.

Ada banyak orang miskin yang antri stres. Ia menjalani hidup normal. Mereka tidak banyak menuntut, tapi tetap bersyukur. Tidak mengeluh, tidak juga meminta-minta meskipun ia sangat membutuhkan bantuan. Kadang malah, ia masih sanggup memberi.

Ada banyak orang kaya yang anti stres. Ini orang kaya yang autentik, kaya yang paten, asli, orisinal kaya. Lahiriyahnya dia memang kaya, jiwanya juga kaya. Jadi, ia bukan kaya “kaleng-kaleng”.

Ciri-ciri orang kaya yang autentik tidak ngaku-ngaku “saya orang kaya”, tapi orang banyak tahu bahwa ia kaya. Ia juga dicintai kaum dhuafa. Mereka, orang-orang lemah itu merasa aman, lapang, dan merasa terjamin di sampingnya. Karena itu, bukan hanya rasa cinta orang-orang dhuafa itu bersikap, tapi juga segan dan hormat kepadanya.

Ciri yang lain, orang kaya yang autentik itu pandai menjaga air muka orang miskin. Ia lebih dahulu memenuhi kebutuhan dhuafa sebelum mereka memintanya. Kadang, orang kaya macam ini menyantuni kaum dhuafa itu tidak sebatas memberinya uang atau makan, tapi membekalinya dengan skill agar kelak mereka bisa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain lagi.

Orang Kaya Kaleng Kaleng Orang Miskin Autentik

“Gua doain ya, biar lu kaya. Kayak gua.” Kata si orang kaya pada orang yang dipandangnya miskin.
“Terima kasih, Om. Saya mah, nggak perlu kaya.” Jawab si orang yang dipandang miskin.
“Deh, biar lu nggak stres.”
“Kaya juga belum tentu tidak stres. Yang penting cukup aja saya mah.”
“Didoain kaya enggak mau.”
“Kaya juga ribet, Om. Pertanyaan malaikatnya panjang.”
“!#$%#??\\#”

Dialog imajiner di atas, rasanya penting untuk dicermati. Pertama, bisa jadi kita salah memberi identifikasi tentang kaya-miskin. Orang yang kita sangka kaya, ternyata miskin. Dan orang yang kita sangka miskin, ternyata kaya.

Kedua, kesalahan identifikasi ini terjadi karena kaya-miskin terlalu dipandang secara lahiriyah dan mengabaikan sisi batiniyah. Orang disebut kaya jika dilihat ia punya segalanya, dan disebut miskin jika tidak punya apa-apa.

Ketiga, orang kaya autentik cenderung tidak memandang dan mengaku dirinya kaya. Mereka umumnya pribadi low profile, santun, dermawan, dan merasa ia harus dekat dengan orang lemah. Kekayaan miliknya menjadi penghubung dirinya dengan orang-orang miskin. Sebaliknya, orang kaya kaleng-kaleng itu masih butuh pengakuan. Seakan, ia belum sah jadi orang kaya sampai semua tahu bahwa dia kaya. Mereka cenderung tinggi hati, hedonis, pelit dan merasa ia harus bergaul dengan komunitas sendiri yang setara dengannya. Kekayaan menjadi garis demarkasi yang memisah dirinya dengan orang-orang miskin.

Keempat, orang kaya autentik itu jelas kaya lahir batin. Sebaliknya, orang kaya kaleng-kaleng itu hakikatnya orang miskin autentik.

Kelima, stres hanya dialami bagi siapa saja yang tidak mengerti hakikat kaya dan miskin. Karena itu, orang kaya autentik cenderung sehat dan tidak mudah stres. Begitu juga orang yang merasa cukup meskipun dipandang sebagai miskin. 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,"Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta dunia, akan tetapi kekayaan yang hakiki itu adalah kaya akan jiwa." (HR Al-Bukhari-Muslim).

Jadi, jelas bedanya bukan?

Jum'ah mubarak.