Kuota Umur Dan Sinyal Uban


Hikmah


Hikmah itu, barang milik orang Mukmin yang hilang. Kadang, ia ditemukan pada tempat yang tidak diduga. Maka, orang Mukmin seperti para pencari hikmah dan mengambilnya di mana saja ia menemukannya.

Di masjid, musala, panti asuhan, rumah sakit, bahkan di kuburan hikmah itu berserakan. Di lingkungan rumah dan tetangga kiri kanan, hikmah mudah ditemukan. Bahkan di mall, tempat kerja, di cafe, dan tempat-tempat hiburan, hikmah masih mungkin tergeletak. Hanya saja, sinyal buat menemukan hikmah itu berbeda-beda statusnya.

Di masjid dan musala, hikmah berwajah ketaatan dan ketundukkan mudah sekali ditemukan. Bisa jadi karena sinyal di sini sangat kuat (very strong).

Di panti asuhan, di rumah sakit atau kuburan, sinyal hikmah juga sangat kuat. Di tempat-tempat ini, hikmah dalam wujud qanaah, syukur, sabar, dan insyaf bahwa kapan saja orang bisa jatuh sakit dan mati kenceng dari ujung ke ujung.

Di lingkungan rumah dan tetangga kiri kanan, sinyal hikmah masih kuat (strong). Orang masih mikir-mikir karena masih ada anak, istri, dan tetangga kiri kanan. Masih menaruh rasa malu dilihat orang-orang dekat bila begini atau begitu, bila tidak begini atau tidak begitu.

Nah, umumnya, di mall, di tempat kerja, di cafe, dan tempat-tempat hiburan, sinyal hikmah mulai putus-putus, timbul tenggelam. Kadang statusnya lemah (week), kadang bisa sangat lemah (very week). Bisa jadi karena di tempat-tempat ini hikmah sulit masuk. Hikmah hampir tidak kebagian tempat di sini. Seakan-sakan tiket masuk sudah diborong oleh kesenangan duniawi.

Namun, tidak berarti orang bisa dikatakan tidak akan mendapat hikmah saat ia sedang ngopi-ngopi di cafe. Tidak juga. Semua kembali pada diri tiap orang.

Sinyal

Zaman sekarang, orang lebih merasa miskin bila kehilangan sinyal internet daripada kehilangan sinyal hikmah. Sedih bila Whatsapp, Instagram, Facebook, atau YouTube-nya cuma muter-muter saja. Padahal belum tentu Whatsapp, Instagram, Facebook, atau YouTube-nya membawa kebaikan. Yang sering terjadi, platform media sosial itu merampas waktu ibadah, menyisihkan tilawah, dan mengajak menunda-nunda kebaikan tanpa disadari.

Selain itu, sebagian besar media sosial hanya menjadi ajang kesenangan semu, leyeh-leyeh seperti tidak ada kerjaan, tabarruj selfie-selfie dengan mulut dimonyong-monyongin sambil nunjukin dua jari, sharing berita atau gambar yang tidak semua orang merasa nyaman, memperpanjang penyebaran berita bohong (hoaks), dan lain sebagainya.

Tidak sedikit yang memanfaatkan medial sosial sebagai sarana hiburan dan berita. Apa saja dijadikan hiburan dan diberitakan. Lagi i’tikaf, habis sembayang Magrib, lagi nyiapin buka puasa, ke salon dulu mao malam Jumat, ketiduran abis Tahajud Subuh ketinggalan jamaah, lagi madang, lagi suntuk, habis berantem, semuanya dibuat status dan diberitakan. Sering berita itu diiringi dengan joke atau gambar jenaka. Banyak yang terhibur. Banyak juga yang mengernyitkan dahi.

Seharusnya, kuota dan sinyal internet digunakan untuk maslahat (kebaikan). Seharusnya, pemegang gawai sedih apabila Whatsapp, Instagram, Facebook, atau YouTube-nya tidak bisa digunakan untuk kebaikan karena masalah sinyal atau kehabisan kuota. Seharusnya begitu. Sekali lagi, masih sedikit yang open mengemas media sosial untuk maslahat, meskipun kuotanya unlimited dan sinyalnya very strong.

Masih sedikit orang memanfaatkan media sosial untuk mengumpulkan dan mengunduh hikmah, menyambung silaturahim, menjadi media dakwah yang mencerahkan, serta menjadikannya sebagai karunia yang bisa menyelamatkan, baik keselamatan dunia dan akhirat. Saya percaya, Anda adalah orang ingin menjadi bagian yang sedikit ini.

Sinyal dan Kuota Alami


Tiap orang sudah dibekali kuota alami dan sinyal yang melekat di dalam diri sejak ia mewujud jadi manusia. Kuota itu adalah umur. Sinyalnya pengalaman hidup.

Ada orang yang kuotanya panjang, ada yang pendek. Ada yang sangat panjang dan baru habis di atas 90 tahun atau lebih. Ada yang kuotanya normal, antara 60 sampai 65 tahun. Ada juga yang sangat pendek, yang kuotanya sudah habis sejak masih di dalam kandungan.

Kuota itu selalu berhadapan dengan masalah sinyal. Saat lahir, sinyal hidup sangat lemah seperti lemahnya bayi, perlahan menguat karena memasuki fase kanak-kanak yang senang bermain, menjadi kuat karena memasuki usia remaja yang energik, lalu mencapai puncak kekuatan sinyal saat memasuki masa dewasa yang produktif, mulai menurun lagi menjadi lemah saat memasuki usia senja, lalu kembali sangat lemah saat sudah tua nyanyuk, beberapa di antaranya bahkan mengalami kepikunan. Kalau sudah pikun, ibarat sinyal hidup hanya tinggal satu garis.

Semua orang mengalami masalah sinyal sesuai jatah kuota masing-masing. Adakalanya sinyal begitu lemah, kuat, dan sangat kuat, lalu sinyal benar-benar mati mengikuti jatah kuota yang habis. Akan tetapi, sebelum jatah kuota hidup habis, sinyal sudah datang tiap hari. Sakit-sakitan, panca indera yang melemah, tenaga yang mulai loyo, atau karena sebab yang tidak harus menunggu tanda-tanda sinyal melemah seperti sinyal internet yang tiba-tiba hilang karena cuaca buruk atau mati listrik.

Umur dan pengalaman hidup adalah kuota dan sinyal paling berharga. Tinggal tiap orang bisa memanfaatkannya untuk kebaikan dunia akhirat atau tidak.

Uang dan Ketenangan

Kemarin, saya menemukan hikmah. Saat ganti oli mesin dan gardan selesai, hujan menahan saya dari segera pulang. Saat itulah barang hilang itu jatuh di hadapan, menetes seperti rinai hujan menjelang sore. Ya, di bengkel. Hikmah itu berkilauan di antara hitamnya sisa-sisa oli pemilik bengkel.

Sebelumnya, pemilik bengkel mengaku hidupnya tak tenang. Seperti ada yang hilang yang selalu dicari-cari, tapi sukar sekali ia temukan. Padahal, usaha bengkelnya tidak pernah sepi. Warung kecilnya laris manis dengan omzet 3 juta sehari. Akan tetapi, ia merasa hidupnya begini-begini saja. Lalu, apa yang hilang dari pemilik bengkel itu sebenarnya?

Rupanya, ia kehilangan Islamic Worldview (pandangan hidup Islami). Itulah barang hilang yang sekarang ia temukan. Ia menemukannya sejak mengaji, majlis di mana sinyal kebaikan sangat kuat.

Ia tetap membuka bengkel dan berdagang kecil-kecilan. Akan tetapi, hati dan pikirannya berubah. Ia merasakan ketenangan setelah mengaji dan mengerti bagaimana Islam mendidik orang cara mendapatkan uang yang benar. Ia berubah. Perubahan itu ia rasakan lebih kekal, lebih menghujam.

Warung kecilnya menjual obat-obatan. Sejak mengaji, obat-obatan yang mengandung alkohol diturunkan. Rokok juga diturunkan dari etalase. Sejak itu, warungnya bersih dari produk beralkohol dan rokok. Omzetnya menurun drastis. Akan tetapi, ketenangan hidupnya naik tajam. Tahulah ia, uang bukan segalanya.

Pola layanan bengkelnya pun berubah. Ia mulai menerapkan layanan baru. Ada maklumat di bengkelnya:
Pelanggan YTH. Barang Bekas Gantian Apapun Bisa dibawa Pulang dan Mintalah. Jika barang tersebut tidak diambil, berarti anda telah memberikan kepada kami. Hormat Kami. Harto Motor.
Begitu bunyi maklumat itu.

Pemilik bengkel itu menyadari, usaha bengkel adalah usaha rawan mengambil barang milik orang. Ia menjelaskan sambil menunjukkan sebuah baut. “Ini milik Bapak. Barang ini kecil. Tapi kalau saya ambil, berarti saya mengambil barang yang bukan hak saya.”

Saya termenung. Rupanya, pengumuman yang ia pasang semacam izin apabila pelanggan tidak membawa pulang barang-barang ganti servis atau oli bekas.

Katanya lagi, oli bekas itu ada nilainya. Satu liter dihargai Rp1000 dari pengepul. Saya bisa membawa pulang oli bekas karena itu milik saya. “Silakan dibawa pulang. Kalau tidak diminta dan tidak dibawa pulang, pengumuman itu sudah mewakili izin saya.” Katanya.

Keren, kata saya dalam hati.

Soal untung dagang, ia juga disiplin. Pemilik bengkel ini pantang berkata: “Yah, modalnya saja belum dapet” hanya untuk mendapatkan untung lebih sedikit dari tawaran pelanggan. Padahal harga tawaran pelanggan itu sudah ada selisih sebagai untung. “Itu gharar. Itu nipu. Bilang aja belom dapat.”

Ini juga keren.

Sebelum saya pamit pulang karena hujan sudah reda, pemilik bengkel itu mengaku sering takut mati. Ia takut saat malaikal maut datang menjemput, ia tidak sedang dalam ketaatan.

Ini lebih keren.

Saya meraba diri. Sadar bahwa kuota hidup makin menipis, sedangkan sinyal sudah dekat di kepala. Uban. Ya, uban di kepala ini. Semoga rambut putih ini seperti sabda Nabi shallalaahu alaihi wa sallam; “Barangsiapa memiliki sehelai uban di jalan Allah (dia muslim), maka uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.” Kemudian ada seseorang yang berkata ketika disebutkan hal ini: “Orang-orang pada mencabut ubannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Siapa saja yang mau, silahkan dia hilangkan cahayanya (baginya di hari kiamat).” (HR. Ahmad)

Allahu a’lam|

Jalan Atatürk Di Jakarta Seperti Bertemu Atatürk di Taksim Square


Taksim Square, Foto Credit Ante Samarzija. Unspalsh. com


SAYA pernah “bertemu” Mustafa Kemal Atatürk di alun-alun Taksim, Taksim Square, dalam bahasa Turki disebut Taksim Meydanı. Taksim Square termasuk kawasan kehidupan malam, belanja, dan makan malam yang sibuk di Turki. Lokasinya di Istanbul, Turki bagian Eropa. Persisnya di Gumussuyu Mahallesi, 34437 Beyoglu/Istanbul, Turki.

Taksim Square merupakan stasiun utama jaringan Istanbul Metro. Tramvay kuno lalu lalang di sini hampir setiap menit. Ia merupakan warisan moda transportasi massal di Istanbul yang beroperasi sejak 17 Januari 1875. Tramvay itu melintasi jalanan di sepanjang Istiklal Caddesi, jalan khusus pejalan kaki yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan abad ke-19, landmark jaringan belanja internasional, bioskop, dan cafe.

Setiap hari, jutaan manusia berkunjung keluar masuk bar, toko barang antik, dan restoran di puncak gedung dengan pemandangan Selat Bosphorus yang menawan di kawasan ini. Wajarlah, karena Taksim Square merupakan jantung kota Istanbul modern. Kawasan ini mulai dibangun sejak tahun 1800-an.

Taksim Square dikelilingi berbagai landmark. Bangunan yang menjulang tinggi di ujung jalan, itu Atatürk Kültür Merkezi (Pusat Kebudayaan Atatürk). Di sebelah alun-alun yang menjadi zona hijau, disebut Taksim Park. Beberapa hotel seperti Ceylan International Hotel, Hyatt Regency, dan Marmara Hotel ada di kawasan ini. 

Jika Anda berkunjung ke sini, meeting point yang sering dijadikan patokan jika Anda kehilangan rombongan biasanya Republic Monument, Burger King, atau Kedutaan Perancis. Taksim Square sendiri merupakan meeting point populer dan tempat yang ideal untuk melakukan tur jalan kaki kota Istanbul yang menyenangkan dari Taksim.

Tentu, Atatürk Kültür Merkezi sangat menonjol sebagai salah satu landmark yang menjadi ikon pusat budaya dan gedung opera di Taksim. Gedung ini contoh penting arsitektur Turki dari sejak 1960-an. Pertunjukan teater, opera dan balet, konser Orkestra Simfoni Negara Bagian dan Paduan Suara Istanbul, Modern Folk Music Ansambel, dan Paduan Suara Musik Turki Klasik, serta Festival Musim Panas Seni dan Budaya merupakan pertunjukan yang digelar di sini. 

Akan tetapi, seni bukan hak mutlak Atatürk Kültür Merkezi saja. Taksim Square di malam hari adalah panggung pertunjukan para musisi jalanan yang berbakat. Jalanan semakin hidup dengan seni grafiti lokal yang mempercantik Taksim.

Selain Atatürk Kültür Merkezi, Republic Monument cukup penting di Taksim Square. Ia adalah prasasti, peringatan Republik Turki yang terbentuk di tahun 1923. Terbuat dari perunggu dan batu. Beratnya sekitar 84 ton. Dengan menggunakan kapal, monumen ini diangkut dari Roma ke Istanbul. Dibangun atas inisiasi Majelis Nasional Grand Turki dari biaya patungan rakyat Turki. Monumen setinggi 11 meter ini dirancang oleh pematung Italia terkenal; Pietro Canonica. Pietro juga yang merancang Patung Atatürk Izmir yang dibuat pada 1923 di Alsancak Republic Square dan patung Atatürk Ankara yang dibuat pada 1927.

Monumen ini menampilkan tokoh revolusioner seperti Atatürk dan İsmet İnönü. Yang menarik, ada Mikhail Frunze dan Kliment Voroshilov, dua Jenderal Uni Soviet yang divisualisasikan di belakang Atatürk. Dari sini saya tahu bahwa militer Uni Soviet turut membantu Perang Kemerdekaan Turki yang pecah pada 1919–1923 dan sukses menggulingkan khilafah Turki Utsmani. Atatürk bersekutu dengan Yahudi dan Soviet untuk menghabisi khilafah yang amat dia benci.

Nah, di Taksim Square ini, saya “bertemu” Mustafa Kemal Atatürk yang punya nama sebenarnya Ali Rıza oğlu Mustafa, orang yang disebut Bapak Turki Modern yang tergila-gila dengan demokrasi Barat Kristen. Dari mulutnya ia pernah terucap, “No country is free unless it is democratic.” []
 
İstiklal Caddesi, ya İstiklal Caddesi, nama jalan ini tidak bisa dipisahkan dari Taksim. Ia adalah jalanan Istanbul yang selalu ramai sepanjang dari Taksim Square hingga menuju Menara Galata. Bayangkan, sekitar 3 juta orang lalu-lalang setiap harinya di sini. Di İstiklal Caddesi ini pula, nanti, saya bertemu perempuan berusia sekitar 60 tahunan setelah makan malam di restoran Korea. Meski sudah berumur, tapi dia masih cantik. Pertemuan dengan perempuan cantik ini akan saya turunkan pada catatan berikutnya. Kalau Anda tahu, saya masih deg-degan saja jika mengingat pertemuan itu sekarang.

İstiklal Caddesi seperti mall terbuka yang amat besar. Seandainya Anda mampir ke sini, berapapun uang yang Anda bawa tidak akan cukup untuk membayar belanja dan berwisata ke butik, galeri seni, musik dan toko buku, bioskop, teater, cafe, bar, restoran, pub, kedai kopi, patisseries, chocolateries, atau ke perpustakaan dan pusat teknologi yang tersebar di İstiklal setelah puas berbelanja. Bila ingin nonton film, di sini ada Atlas atau Beyoglu, bioskop bersejarah di İstiklal Caddesi. Jika Anda peminat sejarah, Anda bisa berkunjung ke Hazzopulo, Suriye, dan Çiçek. Kalau iseng ngin mencoba masuk ke gereja, heee, di sana ada Gereja St Antoine dan Santa Maria. Lengkap. Di sini juga pengunjung bisa menemukan gedung konsulat, galeri seni inovatif seperti SALT Beyoğlu, ARTER, Mısır Apartments, bangunan dengan arsitektur Neo Klasik dan Art Nouveau abad 19 yang mengagumkan.

Sebutan İstiklal Caddesi (Independence Street) mulai dipopulerkan sejak Republik Turki terbentuk. Dahulu di era Turki Utsmani, jalan ini dinamai Cadde-i Kebir (Grand Avenue) dan sudah menjadi tempat favorit buat jalan-jalan kaum intelektual.

Terus, bagaimana ceritanya saya “bertemu” Atatürk?

Di Taksim Square ini, saya melihat bendera raksasa bergambar Atatürk, besaaar sekali. Matanya menatap saya tajam dan sinis. Barangkali, Atatürk sedang bergumam, “Ngapain itu orang kolot radikal datang ke sini?” Haaaa. Itulah pertemuan saya dengan Atatürk.
 
Sampai pada 2013, saat saya sempat menikmati Taksim Square dan kehilangan rombongan, pengaruh Atatürk begitu kuat di hati anak-anak muda Turki. Tadinya, saya ingin banyak menggali sisi Atatürk dari Hakan. Hakan adalah guide asli Turki yang memandu selama saya di sana. Akan tetapi, Bayu membisiki saya, “Hati-hati, Pak. Membicarakan Atatürk termasuk perkara sensitif, apalagi pengaruhnya sangat kuat bagi orang Turki seperti Hakan.”

Wah, enggak jadi, dah. Daripada jadi perkara.

Benarlah kata Bayu, secara tidak sengaja Hakan membuka bagaimana sikapnya saat saya candai mengajaknya ikut umrah setelah Tour Istanbul berakhir. Hakan tersenyum. Berceritalah dia soal ibunya yang muslim dan sering berdoa di gereja.

Saya melongo.

Kata Hakan, Tuhan bisa dijumpai di mana saja. Jadi, apa yang salah bila orang muslim berdoa memohon kepada Tuhan di gereja?

Lha? Pusing, kan?

Akhirnya, saya sampai pada kesimpulan bahwa Hakan tidak lain adalah anak muda Turki penjaga ajaran Atatürk.

Namun begitulah, tak usah pusing. Itulah watak sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme yang menganggap semua agama sama, tak ada bedanya. Jangankan cuma status muslim yang masuk dan berdoa di gereja, menurut “agama liberal”, orang boleh beragama, murtad gonta-ganti agama, bahkan tidak beragama pun, tidak masalah. Dan bagi penganut pluralisme, yang jadi masalah, justru jika orang beragama meyakini bahwa agamanya lah yang paling benar.

Nah, tambah pusing, kan?

Maka, menjadi jelaslah apa yang dibisikan Bayu itu bagi saya. Saya abaikan saja niatan semula. Lalu, saya lebih memilih menikmati secangkir coklat hangat di sebuah kedai yang nyaman. Sekali dua kali, saya tengok lagi gambar raksasa Atatürk di sela mengobrol dengan Hakan dan Bayu. Dalam bahasa Turki yang diterjemahkan Bayu untuk saya, Hakan sekali lagi mengaku bahwa orang tuanya adalah muslim yang taat, tapi dirinya berbeda dari orang tuanya. Hakan terus terang bahwa ia biasa menenggak minuman keras.

Surprise. Soal agama dan minuman keras itu, Hakan persis seperti pengakuan Atatürk. Ini kedekatan Hakan dan Atatürk yang sangat mencolok.

Kata Atatürk:
I have no religion, and at times I wish all religions at the bottom of the sea. He is a weak ruler who needs religion to uphold his government; it is as if he would catch his people in a trap.  
I have a reputation for drinking a lot. Indeed, I drink quite much. However, I give it up when I wish to do so. I never, ever drink while on duty. The drinking is only for my pleasure. I do not remember neglecting my duties because of drinking even once. 
Demikian Hakan dan Atatürk. Seakan saya bertemu dua Atatürk di Taksim Square.[]

KONON, akan ada rencana di Jakarta akan dibuat nama jalan Atatürk. Atatürk adalah simbol sekularisme. Dalam kasus Turki, Bagi Atatürk, Turki hanya akan menjadi negara maju dan modern apabila meniru Barat habis-habisan dengan membuang semua budaya Islam dari hati dan kehidupan orang Turki sampai ke akar-akarnya. Maka tidak heran kalau Atatürk berkolaborasi dengan Yahudi dan Uni Soviet memberangus khilafah dan mencabut akar tradisi Islam dan syari’at dari hati rakyat Turki. Menjadilah rakyat Turki manusia-manusia sekuler yang anti syari’at.

Terus, rencana membuat nama jalan Atatürk di Jakarta itu untuk apa?[]

Bila ingin membaca lebih kengkap tentang keseruan Istanbul, silakan baca buku versi ebook saya "Berdecak di Baah Kubah Hagia Sophia". Salsabila, Pustaka Al-Kautsar.


Silaturahim di Subuh Hari



Foto kiriman dari Gugut Kuntari

Generasi Baru

Saya termasuk generasi yang lahir pada dekade 70-an. Graeme Codrington dan Sue Grant-Marshall menyebutnya “Generasi X”, generasi yang lahir tahun 1965-1980. Generasi ini lahir pada tahun-tahun awal dari penggunaan PC (personal computer), video games, tv kabel, dan internet. Oke, istilah-istilah tidak terlalu penting dalam tulisan ini.

Bila Anda juga termasuk dalam generasi ini, berarti kita sama-sama menjalani masa-masa remaja di era 90-an dan memasuki masa dewasa di era tahun 2000. Dalam catatan saya, kita cenderung tidak mengalami masa-masa “krisis ukhuwah” yang tajam. Yang saya maksud dengan masa-masa “krisis ukhuwah”, adalah renggangnya persaudaraan sesama muslim karena persoalan khilafiyah, yaitu masa-masa sesama orang Islam bersitegang hanya karena ushalli dan tidak ushalli, qunut tidak qunut, 11 atau 23 rakaat Tarawih, dan sebagainya masalah khilafiyah yang sudah masyhur.

Generasi yang mengalami “krisis ukhuwah”, kebanyakan adalah generasi Baby Boomer yang lahir tahun 1946 – 1964, atau yang lahir lebih tua dari tahun itu. Generasi ini lahir setelah Perang Dunia II. Dianggap sebagai orang lama yang mempunyai pengalaman hidup. Salah satu pengalaman hidup itu “krisis ukhuwah” yang saya sebut. Maka, bersyukurlah kita semua sebagai generasi baru.

Generasi Paling Baru

Tidak dipungkiri, orang-orang tua kita pernah mengalami “krisis ukhuwah” yang tajam itu. Setajam apa, coba tanyakan bagi yang masih bersanding dengan mereka. Hanya saja, gali informasi dari mereka tentang krisis itu bukan dengan maksud membuka luka lama. Akan tetapi, jadikanlah ibrah atau pelajaran. Bahwa krisis itu sudah terjadi, biarlah dia menjadi catatan sejarah, tidak perlu ditutup-tutupi, apalagi berusaha dihapus jejaknya. Orang bijak tidak takut pada sejarah masa lalu, sepahit apa pun. Orang bijak adalah orang yang mampu mengambil pelajaran sejarah pahit masa lalu untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Hari ini, anak-anak kita adalah mereka yang tergolong sebagai “Generasi Z”. Mereka anak-anak yang lahir tahun pada era 1995-2010. Tebak, sekarang mereka pada jenjang sekolah apa. Mereka disebut iGeneration, generasi net atau generasi internet. Mereka anak-anak yang pandai mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu seperti nge-tweet menggunakan ponsel, browsing dengan PC, dan mendengarkan musik menggunakan headset. Banyak berhubungan dengan dunia maya. Sejak kecil mereka sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget.

Di bawah mereka, anak-anak “Generasi Alpha” yang lahir tahun 2011 ke atas. Generasi ini lahir sesudah "Generasi Z". Mereka generasi yang sangat terdidik karena masuk sekolah lebih awal dan banyak belajar.

Generasi mereka ini sering disebut generasi milenial, generasi paling baru. Mereka yang akan melanjutkan membangun peradaban.

Warisan Peradaban

Ciri generasi muslim hari ini memiliki cara pandang baru. Mereka sudah menyadari, mereka terikat dalam tali persaudaraan sebagai saudara seiman, apa pun latar belakangnya. Mereka memiliki karakter critical thinking, terbuka, rasional, dan berpandangan jauh ke depan.

Persoalan khilafiyah yang dahulu menjadi pangkal “krisis ukhuwah” orang-orang tua mereka karena tidak tepat dalam menyikapi persoalan tersebut, dipandang tidak ­layak lagi dipertahankan, apalagi menerima warisan krisis tersebut untuk dilestarikan. Mereka sudah sampai pada kesadaran baru, bahwa sudah bukan saatnya lagi masih memelihara sikap sinis, memelihara nostalgia hanya karena persoalan khilafiyah. Gelombang “krisis ukhuwah” sudah tamat bagi mereka, kecuali sisa-sisa dari mereka yang masih terbelakang dalam hal literasi peradaban maju.

Pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mengakhiri gelombang “krisis ukhuwah” itu adalah ormas-ormas Islam. Mereka punya tanggung jawab langsung membangun sikap menerima hakikat khilafiyah.

Menerima hakikat khilafiyah yang saya maksud yaitu memahami bahwa khilafiyah akan tetap ada dan terus terjadi. Selama sebagian berpegang pada dalil atau qaul yang diyakini sebagai landasan suatu amalan ­beribadah dikerjakan, sementara sebagian yang lain tidak meyakininya demikian, maka sepanjang itu pula ­khilafiyah itu akan hidup di tengah-tengah umat.

Jadi, jangan pernah ­berandai-andai qabliyah jumat itu akan ditinggalkan selama yang mengamalkan masih berpegang pada dalil dan qaul tentang amaliyah tersebut. Atau ­sebaliknya, juga tidak mungkin memaksa yang lain supaya mengerjakan qabliyah jumat sementara mereka tidak menjadikan dalil dan qaul yang sama sebagai landasannya. Begitu juga persoalan qunut dan tidak qunut Subuh, 11 atau 23 rakaat shalat Tarawih, ushalli atau tidak usahalli, dan lain-lain masalah khilafiyah yang sudah masyhur.

Maka, yang terpenting adalah saling memberi ruang dalam ­kesadaran beramal sesuai dalil yang dipegang ­masing-masing. Selama perbedaan itu baru menyentuh masalah furu’, maka tidak layak persaudaraan dikorbankan. Itu saja.

Pendidikan, dialog, dan literasi tentang khilafiyah menjadi kunci untuk sampai pada sikap menerima hakikat khilafiyah itu. Apabila proses pendidikan, dialog, dan literasi tentang khilafiyah tidak terbangun dengan baik, maka fanatisme akan selalu berada di atas ukhuwwah sampai kapanpun.

Sinergis

Pagi ini, Masjid Al Huda Ranting Muhammadiyah Pulo menerima kunjungan. Saya percaya, kunjungan itu bukan sekadar untuk menikmati nasi uduk dan semur jengkol yang sedap kreasi ibu-ibu Aisyiyah Ranting Pulo di akhir acara. Ada hal yang paling mendasar, dan dalam timbangan hemat saya, kunjungan itu sangat penting untuk membangun dan menguatkan literasi persaudaraan warga Muhammadiyah dan Aisyiyah dengan MUI, DMI, dan pemerintah.

Forum ini sangat strategis untuk membangun kesepahaman bahwa tantangan dan bahaya umat Islam hari ini jauh lebih besar dari pada persoalan meributkan khilafiyah yang sudah basi itu. Tantangan umat Islam hari ini adalah penyakit sosial yang makin menggila (seks bebas, narkoba, miras, dan apatis atau sikap masa bodoh pada agama), pendangkalan akidah dalam wajah pemurtadan, paham Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama yang sudah difatwa MUI sebagai paham sesat, Syi’ah, dan problem bidang pendidikan dan ekonomi.

Yang mencengangkan dari temuan saya pada akhir-akhir ini, ternyata secara diam-diam, ada orang yang berusaha keras menyebarkan ajaran Syi’ah di Kampung Pulo. Upaya ini sudah cukup lama berjalan, lebih dari dua puluh tahun. Memang, hasilnya hampir tidak kelihatan. Boleh dikata, upaya penyebaran Syiah ini “gatot” alias gagal total. Namun, kegagalan itu bukan berarti upaya penyebaran itu harus dianggap sudah selesai atau berhenti. Belum tentu.

Ini pekerjaan rumah Muhammadiyah Ranting Pulo, NU, MUI, DMI, dan Pemerintah. Oleh karena itu, sinergitas gerakan antar elemen dakwah perlu dipikirkan, dirumuskan, dan dieksekusi. Maka, secara pribadi dan sebagai warga Muhammadiyah, saya sampaikan salam hormat kepada Ketua MUI Kecamatan Pancoran Mas, Ketua DMI Kecamatan Pancoran Mas, Pak Camat Kecamatan Pancoran Mas, dan Pak Lurah Rangkepan Jaya Lama atas silaturahim pagi ini.

Karena itu, silaturahim pada Subuh tadi sangat penting untuk merancang peta jalan dakwah bersama dalam menghadapi tantangan umat Islam akhir zaman di Pancoran Mas, Rangkepan Jaya Lama khususnya, dan lebih spesifik Kampung Pulo.

Subuh memang berat. Mata lebih lengket dari waktu lainnya. Semoga silaturahim Subuh mendatang, lebih semarak lagi. Mata sudah tidak lengket lagi. Masjid Al-Huda lebih makmur lagi. Aamiin.[]

Seminar Menulis di Bawah Flamboyan


Flamboyan di IAIN

Siapa yang ingat flamboyan di halaman kampus IAIN (sekarang UIN) Jakarta?

Tentu, alumni IAIN tahun 1995 ke belakang pasti masih ingat. Saya termasuk alumni yang tidak bisa melupakan flamboyan itu. Apalagi saat ia mekar, merah menyala. Saya bahkan sempat menuliskan syair lagu karena begitu menikmati saat ia berbunga. Hanya saja, saya sudah lupa liriknya kecuali hanya beberapa kalimat saja. Catatannya pun, entah raib kemana.
Wahai kau burung penyanyi
jangan dulu engkau dendangkan
tunggulah sampai ia datang
memberiku seikat kembang
Wahai kau bunga flamboyan
jangan dulu gugur ke bumi
Tunggulah sampai ia datang
memberiku sekeping hati
Hemm. Terasa terlempar lagi ke masa-masa kuliah dulu.
Akan tetapi, flamboyan itu sudah tidak ada lagi. Ia hanya hidup dan berbunga di benak saya yang kian menua pada setiap musim.

Sahidup dan Program Konversi

Sahidup, kawan seiring saya di kampus. Kami sama-sama mahasiswa konversi dari program Diploma II ke jenjang Strata 1 Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam. Seingat saya, Sahidup bersama Mas Tohari, Yadi Setiadi, Mukhson, dan beberapa teman yang lain gigih memperjuangkan agar mahasiswa Diploma bisa melanjutkan ke jenjang S-1 setelah lulus nanti. Berkat lobi-lobi Dekan (waktu itu Prof. DR. Salman Harun, MA), Rektor IAIN, Prof. Dr. Quraish Shihab, MA menerbitkan Surat Keputusan yang mengizinkan mahasiswa Diploma untuk melanjutkan studi pada 1995 melalui program konversi.

Keputusan itu tentu sangat menggembirakan. Kakak kelas yang sudah lulus, merasakan berkahnya. Beberapa dari mereka kemudian ikut mendaftar mengambil program konversi ini. Sedangkan adik kelas, tinggal mengikuti tanpa mereka harus ikut tes masuk IAIN lagi. Saya sendiri tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Karena itu, bagi saya, Prof Dr. Quraish Shihab bukan saja Rektor yang mengantarkan saya bisa menikmati kuliah di program S-1, melainkan yang menyambung nasihat ayah agar saya tetap mencoba peruntungan masuk IAIN.

Pada 1993, saya keluar dari sebuah kampus setelah duduk satu semester. Saya keluar karena sejak semula memang ingin masuk IAIN. Hanya karena kampus yang saya masuki pada 1991 itu kampus baru dan menawarkan biaya murah, niat masuk IAIN tahun itu urung. Akan tetapi, apa lacur, saya tidak betah dan keluar di kampus murah itu. Dan belakangan, ternyata itu kampus abal-abal, kampus bermasalah.

Lalu, pada 1993 saya mendaftar IAIN dan ditolak. Bagian pendaftaran mengatakan, ijazah saya sudah lewat dua tahun, tidak bisa untuk mendaftar S-1, kecuali mendaftar untuk program Diploma II. Saya tidak tertarik. Saya memilih menarik berkas, sebab tujuan saya bukan kuliah program Diploma.

Pulang dengan wajah lesu membawa sesal. Menyesal, mengapa dulu saya tergiur masuk kampus baru. Akan tetapi, ayah memberi saran yang masuk akal.

“Kalau kamu ngotot ingin kuliah S-1 di sana, selamanya kamu tidak bisa masuk IAIN. Ambil saja program Diploma itu. Lagi pula, kamu sudah mengajar di MI. Ijazah Diploma, kan untuk program MI. Kalau nanti kamu diterima, ya syukuri saja, akhirnya kamu bisa kuliah di IAIN.”

Begitulah. Akhirnya, saya ambil program Diploma dan bisa konversi ke S-1. Pada 1999, saya lulus IAIN. Tahun 2000 wisuda. Sementara Sahidup, teman yang mengantarkan riset saya dan lulus, belum lulus-lulus. Beruntung, Sahidup pun akhirnya lulus. Karirnya makin moncer di kampung halaman sebagai PNS dan Kepala Sekolah.

Di Bawah Flamboyan

Sahidup, mahasiswa asal Brebes teman akrab sekelas di Kampus Pembaharu. Duduk berdekatan saat kuliah, memilih dosen S2 atau S3 untuk mata kuliah tertentu di mana ada banyak teman malah menghindar dari dosen tersebut, teman diskusi sebelum maju membawakan makalah, dan banyak hal selama kuliah. Sahidup pula yang mengongkosi riset saya ke Garut. Ini momen yang tidak bisa saya lupakan. Karena, riset itu adalah penentu studi saya selesai di IAIN.

Satu kali, di bawah pohon flamboyan, saat kami menuju ruang kelas, Sahidup menemukan sesuatu. Bukan dompet, bukan uang, atau barang berharga lainnya. Akan tetapi, Sahidup tampak sangat senang menemukannya. Diberikannya sesuatu itu pada saya.

Hanya sebuah ID Card. Bisa jadi, pemiliknya tidak sadar ID Card-nya jatuh saat melintas atau sedang terburu-buru menuju rapat atau urusan penting di kampus. Kami sama-sama beruntung menemukan sesuatu itu. Hanya saja, belakangan saya sedikit menyesal, mengapa bukan kami berdua saja yang mengantarkan kepada pemiliknya waktu itu. Kami memilih menyerahkan pada Satpam untuk disampaikan kepada sang pemilik. Padahal bisa saja, jika kami yang mengantarnya langsung dan diterima di kantornya, kami punya kesempatan untuk berbincang meskipun tentulah beliau sangat sibuk.

Saya tidak pernah melupakan nama yang tertera pada ID Card tersebut: M. Quraish Shihab.

Ke Kampus Lagi

Selasa 12 Oktober 2021 esok, saya mendapat undangan sebagai pembicara pada acara Seminar Ketrampilan Menulis Efektif dan Produktif Bagi Calon Alumni. Seminar bertema “Kiat Menulis Efektif dan Produktif di Era Pandemi” dijadwalkan mulai pukul 10.00 sampai dengan 12.00 WIB bertempat di Gedung Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ini kali kesekian saya ke kampus setelah lulus. Memang, semuanya serba berbeda dari IAIN yang dulu. Kampus ini sudah berganti nomenklatur menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Gedungnya yang berubah megah, tidak lagi pantas diejek sebagai kampus yang lebih mirip “Pabrik Kaos” oleh Daoed Joesoef–seperti cerita dosen saya sewaktu kuliah–sebagai bentuk sikap memandang sebelah mata kampus Islam. Tentu saja, saya tidak akan menjumpai lagi flamboyan di sini, kecuali kenangannya yang tetap merah menyala.

Diundang almamater sebagai narasumber untuk berbagi pengalaman, tentu berbeda dari datang sebagai bekas mahasiswa yang mengurus legalisir atau urusan administrasi kampus. Bila dirasa detak jantung pelan-pelan, hari ini pun sudah terasa detaknya sedikit lebih cepat dari sebelum mendapat undangan. Sebab, saya merasa masih belum bisa move on dari flamboyan. Membayangkan menjadi pembicara tamu pada Selasa esok pun, laiknya membawakan “Seminar Menulis di Bawah Flamboyan”.

Semoga dimudahkan. Allahumma yassir wa laa tu'assir.[]

Bukan Novel Biasa









Hari ini, melegakan sekali. Bukan karena pesan bombastis yang masuk ke nomor saya mengabari: “Anda mendapatkan subsidi Pemerintah Rp.180.000.000 KODE (717747)...” beneran saya terima. Belakangan, ada lebih dari sepuluh kali SMS itu masuk ke nomor saya. Duit sebanyak itu, cukuplah buat beli laptop yang kompatibel modal menulis dan layout. Bagaimana hati tidak lega?

Halagh! Bukan! Itu halu tingkat dewa. Lagipula, pemerintah mana yang mau memberi saya subsidi sebesar itu? Pemerintah Majapahit? Saya lega karena kerja tim saya di perpustakaan yang menangani Pesta Literasi hampir selesai. Selebihnya, tinggal menyisir akhir naskah, acc, naik cetak, dan launching.

Pesta Literasi Perpustakaan Madrasah Pembangunan 2020 memang sedikit telat. Apalagi, kalau bukan karena pandemi Covid-19 alasannya. Pandemi mengubah semua agenda tahunan program literasi perpustakaan yang saya inisiasi sejak 2018 itu. 

Akan tetapi, keterlambatan itu akan segera lunas terbayar dimulai dari suksesnya rangkaian acara sejak webinar penulisan, gelaran tantangan menulis, dan hasilnya, dua naskah novel terbaik tantangan menulis segera terbit. Tiga naskah terbaik tantangan menulis buku nonfiksi, akan segera menyusul proses layout.

Hari ini, dua naskah pracetak novel hasil Pesta Literasi Perpustakaan Madrasah Pembangunan ada di tangan saya. Benar-benar melegakan.

Bina Satu Hari Bersama Ayah
Kehadiran novel Bina memberikan angin segar untuk para remaja, di tengah gempuran novel remaja yang sarat dengan kehidupan pergaulan bebas. Bina membuktikan bahwa masih banyak hal-hal positif dalam kehidupan remaja yang bisa dieksplorasi menjadi sebuah novel. Jalinan kasih antara Bina dengan sang Ayah tercipta dalam dialog-dialog yang natural dan berhasil dinikmati dengan asyik. Pada akhirnya novel Bina akan mengajak kita mencintai kedua orang tua kita tanpa syarat apa pun. Selamat menikmati irisan-irisan kisah yang menghanyutkan.
Paragraf di atas milik seorang novelis hebat. Belakangan, karyanya diangkat ke layar lebar. Memang, dia benar-benar seorang novelis yang karyanya pantas difilmkan. Sebelumnya, novelis ini mengaku hampir ‘gantung pena’. Saya tak tahu alasan mengapa ia hendak mundur dari dunia menulis. Akan tetapi, niatnya itu urung. Menulis adalah dunianya.

Saat saya sodorkan padanya novel “Bina”, dengan sedikit ragu apakah dia bersedia meng-endorse, saya tidak terlalu berharap karena reputasinya itu. Akan tetapi, nama besar tidak membuat novelis ini tinggi hati. Dia bahkan bukan saja bersedia, melainkan juga memberi apresiasi lebih dari sekadar endorse; pujian dan motivasi.

Satu hal yang saya catat dari novelis ini. Dia tidak pernah mau menulis adegan tidak patut, meskipun novelnya berkisah tentang cinta, tentang asmara, layaknya novel-novel percintaan. Itulah dia, novelis dengan karakter yang sangat kuat.

Baca saja sekali lagi kalimat pertama endorse novelis ini: “Kehadiran novel Bina memberikan angin segar untuk para remaja, di tengah gempuran novel remaja yang sarat dengan kehidupan pergaulan bebas.” Ini bukan kalimat biasa; kalimat klise. Ini kalimat berkarakter yang lahir dari kebersihan worldview apa yang seharusnya ditulis seorang novelis.

Harus saya katakan, aura novel “Bina”, begitu hidup, seperti pasang surut kehidupan tokoh Bina dan Arsa dalam novel ini yang “malu-malu tapi rindu”. Apalagi, dihantarkan oleh endorsement novelis hebat.

Q Generations
Novel identik dengan bacaan yang menghibur di kala senggang. Karena memiliki nyawa seakan semua yang hadir di dalamnya terasa hidup. Sejak awal membaca novel Q-Generations–kisah perjuangan keluarga penghafal Quran, hati saya bilang "Wah ini bukan sekadar menghibur" tetapi banyak sekali muatan ilmu, semangat, dan perlu dibaca para orangtua agar bisa merasakan pergolakan emosi menghidupkan Al-Quran di hati anak anak. Salah satu kutipan dalam novel ini, yang berhasil membuat perenungan mendalam adalah, "Ingat, anda bukan sedang mengatasi masalah, anda sedang membesarkan seorang manusia." (Kittie Franz)
Saya sendiri menikmati betul “Q-Generations” selama proses editing. Sama seperti kalimat endorsement dari novelis yang pernah mendapat undangan dari Kedutaan Besar Maroko untuk Indonesia. Novelis ini bisa jalan-jalan ke Rabat, ibukota Maroko dan beberapa kota di sana, negara di Afrika yang memiliki garis pantai yang sangat panjang di Samudera Atlantik ini. Sependek yang saya tahu, novelis ini mendapat penghargaan istimewa itu karena sebuah novelnya yang sangat edukatif, sarat akan nilai kebudayaan, religiusitas, hubungan diplomatik Indonesia–Maroko dan Hubb atau cinta yang memiliki integritas. Semoga saya tidak keliru.

Saya juga harus sepakat dengan novelis ini, bahwa membaca “Q Generations” bukan sekadar menghibur. Bagi saya, ada hal yang menonjok ulu hati, betapa tokoh utama “Q Generations” seperti ‘menyentil’ para orang tua yang kadang merasa kasihan untuk membangunkan anak-anak mereka untuk shalat Subuh karena alasan masih kecil. Sementara, tokoh utama novel ini sudah membimbing anak-anaknya yang baru usia anak SD dan PAUD menjadi hafiz dan hafizah, bahkan sudah membiasakan mereka yang sekecil itu untuk bangun shalat Tahajud. Bayangkan!

Lebih dari dua keistimewaan novel di atas, saya memang benar-benar beruntung bertemu dua novelis dengan karakter rendah hati, karya mereka yang luar biasa, dan akhirnya meng-endorse, serta persahabatan yang manis.

Sebagai pembelajar, sebagai yang pernah menulis novel, saya senang atas kehadiran novel “Bina” dan “Q Generations”. Senang, karena kedua novel ini masing-masing ditulis seorang guru, seperti saya. Sebagai editornya, ada sedikit sentuhan saya dalam novel ini. Namun, bukan itu poinnya, melainkan saya bisa terus belajar dari dua penulis sehebat novelis di atas, serta novelis “Bina” dan “Q Generations”.

Bukan Novel Biasa

Toni Morrison, seorang penulis Afrika-Amerika yang Romannya “Beloved” mengantarkannya memenangkan Pulitzer pada 1988, dianugerahi Hadiah Nobel dalam bidang Sastra pada 1993, tokoh pertama Afro-Amerika yang menerima penghargaan itu, pernah berkata: “If there’s a book that you want to read, but it hasn’t been written yet, then you must write it.”

Kalau boleh saya ibaratkan, kata-kata Morrison itu dibuktikan oleh dua penulis “Bina” dan “Q Generations”. Boleh dikata, seakan Morrison memang berkata kepada mereka berdua, “Jika buku yang ingin Anda baca, tetapi belum ditulis, maka Anda harus menulisnya.”

Kedua penulis telah mendahului kita menulisnya, seperti yang dikatakan Morrison. Untuk membaca buku yang belum ditulis tentang lompatan tahun 2041 dengan alur mundur Pandemi Covid 19 seperti novel "Bina" dan cerita tentang anak PAUD dibangunkan untuk tahajud seperti dalam novel "Q Generations", maka saya dan Anda terlambat! 

Maka, bolehlah saya katakan, dua novel ini bukan novel biasa. Tunggu sampai keduanya terbit, dan nikmatilah.[]

Madang, Ngaji, Dan Rezeki


Sepiring nasi. Bisa madang. Foto credit https://www.flickr.com/

Madang

Madang. Pasti Anda paham arti kata “madang”. Ya, di kampung saya, “madang” artinya, “makan”. Namun, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata ini jauh dari arti yang menunjuk pada aktivitas makan. Dalam kamus tersebut, “madang” berarti "tidak patuh terhadap adat (Dayak-Matan)".

Kata “madang”, ternyata juga dipakai untuk nama satu kecamatan di wilayah Bogor. Namanya kecamatan Babakan Madang. Bagaimana pula arti “Babakan Madang” itu, saya tidak tahu.

Dalam tulisan ini, “madang” yang saya maksud seperti yang dimengerti orang kampung saya; “makan”. Itu pun sebatas makan nasi, bukan makan yang lain. Di kampung saya, biarpun seseorang sudah makan semangkuk bakso, sepotong roti, atau sepiring ketoprak sekalipun, itu tidak disebut madang. Akan tetapi, meskipun hanya sepiring nasi dengan garam, itu sudah disebut "madang".

Madang itu kebutuhan hidup. Orang bisa tersiksa jika seharian tidak madang. Apalagi tidak madang berhari-hari, dia bisa mati. Karena itu, setiap orang rela bekerja untuk bisa madang. Apapun pekerjaan itu, asalkan ia pekerjaan halal, dilakoni asalkan dia bisa madang. Banyak juga orang yang khilaf. Dia tidak peduli pekerjaan itu halal atau haram, yang penting dia bisa madang. Pendek kata, madang itu penting.

Akan tetapi, bagi manusia, hidup bukan hanya untuk urusan madang atau urusan mengatasi lapar tok, melainkan madang sekadar untuk bertahan hidup. Jadi, madang bukan segala-galanya, meskipun segala aktivitas bisa loyo gara-gara belum madang.

Ngaji

Ngaji sama dengan belajar atau menuntut ilmu. Dalam agama, menuntut ilmu wajib hukumnya. Dalam hadits yang sangat populer riwayat Ibnu Majah dari jalur Anas bin Malik radhiyallahu anhu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Thalabul ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin”, bahwa “menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”

Menuntut ilmu dalam riwayat di atas tidak disebut fardhu, melainkan faridhah. Kata faridhah mengikuti bentuk (wazan atau pola) fa'iilatun yang mengandung makna "mubalaghah", pengukuhan. Maka, kata faridhah maknanya bukan sekadar wajib, tapi ‘sangat wajib’. Sedangkan fardhu maknanya ‘hanya’ wajib.

Sekian banyak ayat Al-Qur’an menunjukkan pentingnya ilmu dan kemuliaan bagi penuntutnya. Sekian banyak hadits memperkuat, betapa beruntungnya fadhilah menuntut ilmu.

Sedemikian penting kedudukan menuntut ilmu, Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa kebutuhan manusia akan ilmu lebih besar daripada kebutuhan makanan dan minumannya. Makanan dan minuman hanya dibutuhkan manusia sehari sekali atau dua kali, sementara ilmu dibutuhkan sepanjang napasnya. Maka, orang yang tidak memiliki halangan yang dapat dibenarkan meninggalkan kewajiban menuntut ilmu, dia bisa dihukumi berdosa.

Rezeki

Madang itu menikmati rezeki pemberian Allah. Sementara, mengaji merupakan cara bersyukur atas rezeki madang yang Allah berikan. Maka, sudah sepantasnya, bila orang bisa madang tiga kali sehari, seharusnya dia bersyukur bisa mengaji sekali atau dua kali dalam seminggu. Tidaklah mengherankan, bila dahulu, orang-orang tua di kampung, mati-matian cari madang supaya bisa ngaji. Seminggu dagang pager, pulang bawa uang dan bisa madang, malam Seninnya ngaji. Begitu seterusnya.

Rezeki yang melimpah, termasuk bisa madang, jangan dikira sebatas ia sampai di perut. Tidak. Nanti di akhirat, apa yang dapat dia madang sepanjang hidup itu, akan dimintakan pertanggungjawabannya. Orang-orang yang madang itu akan ditanya, bagaimana caranya dia bisa madang. Apakah dengan cara halal atau haram. Setelah madang dan kenyang, apakah energi itu disalurkan untuk kebaikan atau kejahatan. Apakah sesudah madang dia ingat Allah dan memenuhi perintah-Nya, atau justru melupakan-Nya.

Apabila sebelum, sedang, dan sesudah madang seseorang mengingat Allah, bersyukur atas rezeki, maka selamatlah dia. Akan tetapi, jika setelah madang dan kenyang dia malah lupa kepada Allah, sama saja dia melupakan zat yang sudah memberinya madang.

Ada orang yang lupa, dia lebih takut tidak bisa madang sehari saja, tapi tidak takut meninggalkan kewajiban menuntut ilmu. Ini keliru. Ini sama saja berburuk sangka kepada Allah, Tuhan yang Maha Kaya yang memberi madang hampir lima miliar lebih manusia penduduk bumi. Padahal, hewan melata sekalipun sudah disediakan rezekinya agar dia bisa madang. Jadi, kalau ada makhluk yang paling elok penciptaannya seperti manusia takut tidak bisa madang karena pergi menuntut ilmu, bisa jadi Allah kabulkan dia tidak bisa madang tiap kali akan melakukan kebaikan yang berbenturan dengan urusan mencari madang. “Ana ‘inda zhanni ‘abdi bii”. Ngeri, sebab “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku,” demikian arti potongan hadits Qudsi di atas riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim. 

Berbaik sangkalah kepada Allah, Allah akan berikan kebaikan. Jangan sekali-kali berburuk sangka kepada Allah, bisa jadi Allah berikan keburukan sesuai persangkaan buruk itu.

Menuntut ilmu tidak akan menutup pintu rezeki. Apalagi sekadar rezeki untuk bisa madang. Yang sebenarnya, orang akan diberikan jalan kemudahan hidup, lebih dari sekadar bisa madang jika dia rajin menuntut ilmu. Imam Turmuzi ada meriwayatkan sebuah hadits, “Man salaka thariiqan yaltamisu fiihi ilman sahhalallahu lahu thariqan ilal jannah.” Artinya, “siapa saja yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan ke surga.”

Surga adalah rezeki tertinggi. Orang yang menuntut ilmu, berhak mendapatkan fasilitas kemudahan sampai ke surga. Nanti di surga, dia bisa madang sepuasnya. Jadi, mengapa harus takut tidak madang bila pergi ngaji?

Wallahu a’lam bishawab.