Sungai Vertikal Rocky Gerung dan Tatal Pohon Yudi Latif




Dr. H. Sutrisno Muslimin (Ketua KPH Bakti Mulya 400) Rocky Gerung, Prof. Yudi Latif, Ph. D, dan Balques Manisang pada sesi berfoto usai acara Diskusi Panel. Foto milik Akun Instgarm Bakti Mulya 400.

Jalan tol makin panjang, jalan pikiran makin pendek.

Kejutan di Pagi Hari

“Saya ingin guru saya pintar-pintar. Guru saya terus bertumbuh. Mindset-nya tidak tetap, tidak fixed mindset, tapi growth mindset. … guru-guru saya kelihatan agak fresh hari ini. Karena hari ini, kita juga akan kasih gaji ke-15.” Sutrisno Muslimin, KPH BM 400.

Saya mengenal baik Sutrisno Muslimin, pemikiran, dan filosofi hidupnya. Maka, saat keinginan memiliki guru-guru pintar disampaikannya saat membuka Seminar Nasional dan Diskusi Panel bertajuk: "Membangun Kurikulum Etika Lingkungan dan Pembelajaran Mendalam Berbasis SDGs: Integrasi Filsafat, Nilai Kebangsaan, dan Kebijakan Berkelanjutan di Sekolah” Kamis, 10 Juli di BM 400, Cibubur, saya sudah tidak terlalu terkejut. Juga soal “gaji ke-15” itu.

Gaji ke-15 itu informasi di pagi yang cerah seperti ini sangat “mindful, meaningfull”, dan tentu “joyful” sebagai konteks apresiasi. Guru mana yang tidak semringah? Wahai guru BM 400, “Maka nikmat-nikmat Tuhan kalian yang manakah yang kalian dustakan?” Ahahahah.

Atmosfer “mindful, meaningfull”, dan tentu “joyful” yang ditebar Sutrisno itu semacam kedermawanan manusiawi. Ini filosofi bahagia untuk mencerna topik berat semisal SDGs (Sustainable Development Goals) yang dihubungkan dengan kurikulum. Jadi, seberat apa pun topik yang dibicarakan, asalkan ia dimulai dengan kegembiraan, beda hasilnya apabila memulai topik dengan hati kusut masai dan wajah muram meskipun topik yang dibicarakan seringan kerupuk kulit.

Sebagai peserta tamu pada diskusi ini, saya juga semringah. Sebentar setelah acara dibuka, Rocky Gerung dan Yudi Latif pasti akan menyajikan menu growth mindset. Sebagai tamu, ini nutrisi otak buat saya, “otak ke-15” yang saya inginkan terus bertumbuh.

“Tidak ada sekolah hebat, bila tidak diisi guru-guru hebat.” Sutrisno mengatakan itu di podium kehormatan saat dia membuka acara. Dihadirkannya Rocky Gerung dan Yudi Latif, itu jalan ikhtiar agar sapaan “guru hebat” itu punya nilai karena otak diberi nutrisi yang cukup. Jadi, “guru hebat” itu bukan sekadar sapaan basa-basi yang tidak punya korelasi dengan ikhtiarnya.

Sungai Vertikal Rocky Gerung

Balques Manisang, Host TV One sang moderator membuka acara dengan salam. Ow, rupanya Balques itu lulusan Universitas Islam Indonesia Jurusan Ilmu Komunikasi. Mengertilah saya, pantas salamnya fasih. Jurnalis ini dikenal sebagai reporter yang kritis dan berani dalam menyuarakan kebenaran. Diskusi panel ini jadi seperti perpaduan host, narasumber, dan topik panel yang presisi rasanya.

Rocky Gerung langsung menghentak nalar pada menit pertama bicara. “Jadi sebetulnya, menjadi guru artinya, menuntun negeri ini untuk tiba pada janji Proklamasi, mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru diberi beban itu oleh founding parents kita,” tegas Rocky.

Rocky lalu mengutip buku Yudi Latif yang memberi dasar filosofis soal ini: Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jadi menurut Rocky lagi, “tak ada keparipurnaan negara tanpa ada peran guru. Negara menjadi paripurna kalau di dalamnya ada kegiatan berpikir. Jadi kita terhubung dengan sejarah pendirian bangsa kita. Bung Karno adalah guru, Panglima Soedirman adalah guru, Bung Hatta adalah guru, Natsir adalah guru, Buya Hamka adalah guru, Sutan Sjahrir adalah guru. Jadi, keguruan itu sebetulnya fondasi epistemik dari negeri ini.” Begitu kata Rocky.

Bukan Rocky bila tidak membuat otak ini bergelombang. Filsuf dan Pengamat Sosial-Politik ini membagi pikirannya supaya orang ikut mikir problem yang dia sodorkan. Dibukalah hasil riset di Eropa oleh Rocky bahwa pendidikan di Indonesia hari ini berada pada status berbahaya. Karena dosen memplagiasi, karena dosen bermain, karena artikel bodong dipaksa masuk ke jurnal-jurnal predator—jurnal ilmiah yang memprioritaskan keuntungan finansial di atas kualitas penelitian. Jadi terlihat, bahwa ada jarak moral antara apa yang pernah dibayangkan oleh the founding parents dahulu, dengan yang dilaksanakan sistem pendidikan kita hari ini. Ini problem besar. Siapa yang bertanggung jawab pada kemandegan berpikir ini.

Begitulah Rocky. Dia tajam menyorot soal kemandegan berpikir ini dengan analogi: “jalan tol makin panjang, jalan pikiran makin pendek.” APBN dihabiskan untuk selesaikan tol, sementara kurikulum dibiarkan terlantar. Karena itu katanya perlu ada upaya untuk menghasilkan Indonesia kembali berpikir.

Rocky menyebut, setiap hari kita dilibatkan dengan kurikulum tanpa paham bahwa dunia sedang menagih kurikulum baru yang namanya environmental ethics, environmental logic supaya kita bisa cum island SDGs. Namun, pemerintah berupaya mem-playtener SDGs padahal sebetulnya mereka sudah gagal dari awal.

Karena hal yang paling strategis dari SDGs adalah memelihara konservasi lingkungan yang dua dekade diucapkan sebagai “New Kind of Revere”—orang yang menghormati alam bukan hanya lewat kata, tapi lewat tindakan nyata—di dalam kurikulum dunia. Akan tetapi, Rocky menyayangkan anak Indonesia, peneliti Indonesia, dosen Indonesia, pejabat Indonesia, menteri Indonesia, saat tiba di seminar-seminar global baik Asia dan Eropa, mereka “be do not speak environmental ethics” padahal karena grammer pengetahuan.

Otak saya mulai terang saat Rocky mempertegas paparannya yang terlalu filosofis serta kekayaan diksi yang seolah tidak ada habis-habisnya dia lontarkan dengan dunia sekolah. Rocky berkata, sangat bagus bila sekolah mengucapkan kepedulian lingkungan di kelas-kelas maupun di halaman sekolah sebagai bentuk kurikulum environmental ethics, environmental logic.

Rocky melansir kebijakan hijau yang digagas Kapolda Riau sebagai perbandingan. Dia tahu persis dan terlibat soal ini. Bayangkan, dalam sepuluh tahun terakhir, hutan di Riau tinggal 60 persen, sekarang tinggal 12 persen. Ini terjadi karena persoalan pengabaian environmental ethics, environmental logic. Di hulu pohon ditebang, di hilirnya para komisaris menikmati keuntungan dari proyek hilirisasi tambang. Hulu sungai ibarat sarang bagi-bagi rezeki segelintir orang tanpa paham apa itu environmental ethics, environmental logic.

Rocky menyinggung kasus ekstrem yang dialami Nauru. Tahun 2000 kata Rocky, Nauru masih menjadi negara terkaya di dunia karena kandungan kekayaan fosfat berlimpah yang dieksploitasi secara besar-besaran. Tapi, dalam dua dekade, Nauru menjadi negara bagkrut, menjadi negara paling miskin di dunia, dikirim makanan oleh PBB. Tanahnya rusak akibat eksploitasi sebab pemimpinnya tidak mampu berpikir ekologis. Indonesia punya potensi itu kalau pemimpinnya tidak punya kualitas leader, kalau pemimpinnya kualitas dealer.

Satu poin yang juga menghentak dari Rocky Gerung soal kurikulum yang berpihak pada etika lingkungan ketika dia mendefinisikan sungai versi kurikulum lama. Dalam kurikulum lama, sungai diartikan sebagai air yang mengalir dari hulu ke laut. Tapi hari ini, sungai yang tiba di muara adalah sisa-sisa dari sungai vertikal. Rocky melihat pohon itu sebagai sungai. Setiap satu batang pohon adalah sungai vertikal. Ini definisi sungai dengan cara berpikir ekologis.

Bagaimana bisa?

Dalam satu batang pohon, di dalamnya ada pembuluh kapiler. Oleh matahari, dipanggil tiba di daun melalui proses fotosintesis. Maka, terbentuklah klorofil atau zat hijau daun. Ditimbunlah di situ karbohidrat. Diuapkan pada malam hari menjadi karbon dioksida (CO2). Dan disejukkan di pagi hari karena pohon memproduksi oksigen (O2). Jadi, kita ajarkan kepada anak, bahwa konsep lama tentang sungai itu sudah berubah. Sekarang, setiap pohon adalah sungai, maka menebang pohon artinya mengotori sungai. Jauh betul lompatan logikanya. Tapi, itulah yang kita sebut do think the unthinkable yang tidak pernah terpikir kebanyakan orang.

Konsep-konsep seperti inilah yang dipertandingkan pada seminar-seminar internasional, soal lingkungan. Indonesia sibuk dengan hilirisasi. Rocky cerita ketika ditanya seorang mahasiswa saat dia memberikan kuliah di Warsaw, Warsawa, Polandia. Mahasiswa itu tahu bahwa hari ini Indonesia sedang mengupayakan proses nilai tambang. Artinya, musti ada energi bersih. Akan tetapi, pertanyaan ekologisnya adalah, proses hilirisasi itu di hulunya berkumpul para komisaris yang bagi-bagi rezeki tanpa paham apa itu etika lingkungan. Hak pengelolaan hutan dan tambang hanya diberikan kepada beberapa gelintir orang dari oligarki. Hutan di Riau yang tinggal 12 persen itu menjadi contoh jalan pikiran Rocky bahwa etika lingkungan diabaikan atas nama hilirisasi.

Terlalu padat poin yang disampaikan Rocky Gerung pada sesinya. Terlalu filosofis juga uraiannya sehingga agak payah saya mencerna. Pada bagian yang terlalu filosofis itu saya skip pada tulisan ini namun tidak mengurangi kekayaan pesan dari awal hingga akhir Rocky bicara. Saya cukupkan pada statement akhir Rocky tentang apa yang mesti dibekalkan pada anak-anak didik kita supaya suatu waktu mereka akan katakan “now to can talk BM 400 do speak environmental ethics.”

Tatal Kayu Prof. Yudi Latif, Ph.D

Melontarkan pertanyaan mumpung narsumbernya berkelas. Bertanya itu penting, jarang bertanya kecuali kepada narasumber berkelas itu pilihan. Foto milik Anisa Muthi.

Di awal sesi, Prof. Yudi Latif berangkat dari mengutip pendapat Hatta yang mengulas hubungan pendidikan dan kebudayaan. Khas akademisi, penerima Nabil Award dari Yayasan Nation Building pada 2012 ini memulai sesi dengan definisi. Akademisi ini berusaha menyatukan tema etika lingkungan dengan kurikulum deep learning, kebijakan keberlanjutan di sekolah, budaya, dan filsafat pendidikan.

Pendidikan dimaknai Yudi sebagai proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hidup. Jadi, pendidikan bicara tentang bagaimana proses memanusia. Apa yang diajarkan dalam pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri itu adalah proses pembudayaan. Di sinilah bedanya pendidikan dan pengajaran. Pengajaran lebih mengarah kepada kognitif atau skill.

Bila hewan umumnya belajar melalui nature (insting), belajarnya manusia tidak hanya lewat insting, tapi by nature, dengan budaya. Jadi cara manusia belajar dari kehidupan itu dimediasikan dengan kebudayaan dan juga mereproduksi kebudayaan. Oleh karena itu, setiap kita mulai belajar tentang kurikulum pendidikan, pada hakikatnya mencari tahu tentang yang koheren antara pendidikan dan kebudayaan. Dengan kebudayaan, manusia bisa memaknai sesuatu atau membuat sesuatu itu bermakna. Tanpa kebudayaan, hidup akan meaningless. Maka, pendidikan menjadi jembatan agar hidup manusia itu punya makna, punya budaya.

Sistem makna ini biasanya diungkapkan dalam nilai. Pertama manusia harus tahu nilai etis, soal mana yang baik mana yang buruk. Kedua, manusia harus tahu nilai ilmiah atau nilai logis, yakni soal mana yang benar mana yang salah. Ketiga, manusia juga harus tahu nilai estetis, soal mana yang pantas mana yang tidak pantas. Keempat, manusia juga harus tahu nilai pragmatis, soal maslahat dan mudharat. Pada dasarnya, pendidikan harus mengajarkan manusia nilai-nilai—etis, logis, estetis, dan nilai pragmatis—itu.

Yudi Latif menyebut empat nilai-nilai di atas sebagai empat kelopak bunga dengan satu tangkai. Tangkai dari semua nilai itu namanya spiritualitas. Yudi Latif mengaitkannya dengan mazhab Eduard Spranger yang menyatakan apa pun yang tampak dari peradaban kita—peradaban itu korup atau tidak, merusak lingkungan atau tidak—itu jelas-jelas cerminan dari jiwa budaya kita. Dan, inti dari jiwa budaya kita adalah nilai-nilai spiritual. Sementara Arnold Toynbee yang juga dikutip Yudi latif budaya itu berlapis-lapis. Lapisan paling luarnya adalah sain dan teknologi, di dalamnya lagi estetika, di dalamnya lagi etika, paling dalam lagi adalah visi spiritual.

Jalan berpikir ini sesuai dengan jalan berpikir filsafat think. Jadi, apa yang disebut sebagai berpikir, reasoning, nalar, itu sebenarnya hanya aspek paling permukaan dari kesadaran (uppermind). Di bawahnya ada kesadaran yang lebih mendalam yang disebut citta. Citta berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna kekuatan yang tumbuh dari dalam. Dalam istilah Islam, kekuatan terdalam itu namanya dzauq, qlabu. Qalbu itu instrumennya, dzauq itu epistemologinya, cara memperolehnya. Jadi, ada jenis pengetahuan didasarkan pada kemampuan mengakses inti terdalam dan daya intuitif. Dengan kemampuan spiritual manusia bisa melihat kebenaran seperti kristal.

Kekuatan-kekuatan daya spiritual ini biasanya diolah oleh kekuatan-kekuatan meditatif, riyadhoh atau latihan-latihan spiritual yang mengantarkan kita bisa menemukan semacam pancaran cahaya yang tadinya gelap tiba-tiba menjadi menyala. Biasanya daya spiritual ini membuat orang mampu memobilisasi energi rohani, membangun daya harmoni, dan membangun relasi kita dengan kosmos yang damai. Pancaran spiritual ini yang men-drive energi kreatif orang, harmoninya, dan daya hidupnya.

Ekspresi spiritual ini diarahkan pada tiga hubungan harmoni: dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Dunia atas ini yang ilahi, dunia tengah ini yang insani, dunia bawah ini alam semesta. Dalam konsep Islam ini yang disebut hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal ‘alam. Yang ketiga ini sering dilupakan, padahal Islam sangat menekankan relasi harmoni dengan alam. Dalam konteks ibadah haji misalnya, setelah memakai kain ihram ada larangan membunuh binatang dan menebang pohon.

Dalam konteks ini, Yudi Latif mengutip Al-Qur’an surah Al-An’am [4] : 38 sebagai kaitan term komunitas umat yang makna sebenarnya sebagai satu totalitas makhluk hidup. "Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu." Dalam konteks Indonesia dan Pancasila, tiga domain ini diwakili sila pertama tentang Ketuhanan, sila kedua Kemanusiaan, dan sila ketiga Persatuan; persatuan manusia dengan tanah airnya. Ketiga sila ini punya relasional yang kuat.

Hari ini, berbagai lembaga bisnis dan lembaga pendidikan mengajarkan Mindfulness —keadaan pikiran yang muncul dari perhatian yang disengaja, saat ini, dan tanpa penilaian. Ini adalah kemampuan untuk hadir sepenuhnya, menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar dan dalam diri kita pada saat ini. Coba sekali-kali saat mengajarkan berdoa kepada anak-anak bukan hanya doa’ yang dizahirkan, tapi masuk dalam ritme detak jantung dan berdoa dalam hening. Yudi Latif menyebut teknik hening cipta. Hening cipta merupakan instrumen untuk menjangkau aspek intuitif yang paling dalam yang akan memancarkan daya spiritual.

Maka sepanjang sejarah pendidikan, lima nilai-nilai: etis, logis, estetis, pragmatis, dan nilai spiritual lah yang konstanta diajarkan. Dan, namanya pendidikan itu seperti filosofi pohon, seperti ilustrasi dalam Qur’an surat Ibrahim ayat 24. Sebaik-baik manusia itu seperti pohon yang baik. Pohon yang baik itu akarnya kuat menghujam dalam, batangnya menjulang tinggi, kemudian berbuah sepanjang tahun.

Dalam konteks pendidikan, Yudi Latif menggambarkannya sebagai pohon pendidikan. Akarnya itu adalah karakter. Pendidikan tahap awal seperti PAUD seharusnya hanya belajar dasar-dasar menjadi manusia baik; seperti menghormati orang lain, mengapresiasi, membuang sampah pada tempatnya, dan belajar mandiri. Pada tingkat SD anak belajar dasar-dasar menjadi manusia pembelajar; seperti menulis, membaca, menghitung, menutur yang terkoneksi dengan nilai-nilai karakter. Lalu pada tingkat menengah belajar dasar-dasar ilmu pengetahuan. Sifatnya lebih generik memaparkan berbagai jenis ilmu pengetahuan dasar. Barulah masuk pada perguruan tinggi belajar menjadi manusia berwawasan generalis yang memiliki keahlian spesifik.

Akar pohon itu adalah nilai-nilai karakter, cabang dan rantingnya adalah keterampilan, skill, dan tata kelola, dahan yang rindang adalah kolaborasi-kolaborasi, barulah yang disebut buahanya itu adalah kreativitas dan inovasi. Maka, pendidikan itu menyasar manusia berkumpul dengan karakter, berkumpul dengan pengetahuan, berkumpul dengan skill. Inilah manusia yang harus dibangun dengan kurikulum apa pun.

Deep learning di mata Yudi Latif itu satu pembelajaran yang memberikan kajian pada proses. Setiap orang itu punya potensi dasarnya, punya moral perbes dalam hidupnya, punya passion-nya masing-masing, dan proses itu harus dihargai. Oleh karena itu, tidak semua hasil proses belajar harus diukur dengan skor yang anehnya di sekolah disebut nilai. Nanti, ada hal yang kontradiktif antara konsep deep learning dengan soal ujian berbasis multiple choice dan hasil asesmen dalam bentuk skor yang tidak mengukur secara utuh nilai estetis, nilai etis, dan nilai spiritual.

Paparan panel dari Yudi Latif saya akhiri dengan contoh yang dilontarkannya saat dahulu mendampingi anaknya sekolah di Australia. Ini tentang kurikulum berkelanjutan dan pembelajaran berwawasan ekologis. Ada pohon besar yang sudah tua. Sudah lama pohon ini mengayomi lingkungan di dekat sekolah. Saatnya tiba ia harus ditebang karena faktor usia. Dikhawatirkan apabila ada angin kencang, ia tumbang dan membahayakan nyawa banyak orang.

Di Australia, menebang pohon tidak seperti pembalak hutan di Indonesia yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan yang berkelanjutan. Tidak memedulikan environmental ethics dan environmental logic seperti yang diusungkan Rocky Gerung. Bayangkan, setelah pohon itu ditebang, anak-anak sekolah diajak hadir di pokok pohon. Mereka mengelilingi pokok pohon yang sudah tumbang itu. Mereka dituntun menyampaikan selamat jalan secara simbolik pada “sungai vertikal”yang selama ini telah setia menyuplai oksigen kepada mereka.

Tidak sampai di situ, setiap anak diberi beberapa tatal (pecahan kayu pohon) dibungkus tisu untuk dibawa pulang dan mereka menyimpannya di rumah. Apa maksudnya? Untuk menyambungkan jiwa anak agar mereka terus tersambung dengan pohon yang sudah berjasa itu pada kehidupan mereka meski sekarang pohon itu sudah tiada. Bukankah ini bentuk environmental ethics dan environmental logic pada lingkungan berkelanjutan yang paling dasar?

Saya kehabisan argumen untuk mendalilkan bahwa Rocky Gerung dan Prof. Yudi Latif, Ph.D membawakan panel ini luar bisa menarik. Tapi, harus jujur saya akui, paparan keduanya masih sangat filosofis buat saya. Butuh waktu jeda mencerna apa yang mereka paparkan untuk diterjemahkan pada tataran praksis. Akan tetapi, boleh jadi bagi Insan BM 400, Bung Rocky dan Yudi Latif sekadar menguatkan cita-cita pendidikan mereka yang sudah melompati batas pendidikan di Indonesia yang terlalu mainstream.

Tengkyu Pak Tris dan BM 400.

Depok, 12 Juli 2025.
Sabtu yang penat bersama flu yang belum mereda.

Kiai Dahlan Michael Fullan Abdul Mu’ti dan Insect Hotel

Saya dan Tim Penyelaras E-Modul MTs. Pembangunan Jakarta di Grand Zuri, BSD City. Foto milik Fauzan Salmanto.

Schooling without learning is a terrible waste of precious resources and of human potential" – The South Asian paradox. International Journal of Educational Development. Volume 103 2023, 102904.

Pada 2 sampai 4 Juli kemarin, berkesempatan menyerap paparan dari Nur Luthfi Rizqa Herianingtyas, M.Pd. Bu Rizqa —panggilan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini dalam kesehariannya— termasuk salah seorang dari Tim penyusun Naskah Akademik Pembelajaran Mendalam Menuju Pendidikan Bermutu untuk Semua yang digagas Mendiknas, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M. Ed. Bu Rizqa ada banyak mengulas soal deep learning. Untuk ini, saya perlu mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Fauzan, M.A. Direktur Pendidikan Yayasan Syarif Hidayatullah Jakarta yang mencantumkan saya sebagai peserta pelatihan.

Terima kasih ini bukan sekadar soal menikmati fasilitas di Grand Zuri. Atau, distingsi hotel di BSD ini yang menyediakan menu mie instan rebus atau goreng yang jarang ditemui di hotel-hotel lain. Pak Fauzan membisiki saya, hanya di hotel ini ada menu model begini, katanya. Ah, sebagai penyuka mie, saya ingin mencoba. Dan, hmmmm, rasanya sama dengan buatan istri saya di rumah, hanya beda kelas saja. 😂

Sejak masih di Grand Zuri menyimak paparan Bu Rizqa, saya teringat pemikiran pendidikan KH. Ahmad Dahlan. Seperti ada benang merah yang menghubungkan pemikiran pendiri Muhammadiyah itu dengan Michael Fullan dan Pak Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah saat ini. Saya katakan demikian, sepanjang membaca literatur Kiai Dahlan dan pemikirannya tentang pendidikan, serpihan jejak konsep deep learning bisa dijumpai di beberapa sumber. Memang tidak sama persis dan presisi, tapi spiritnya sangat jelas terbaca.

Sutrisno Kutoyo misalnya, dalam bukunya Kiai Haji Ahmad Dahlan pada halaman 69 memuat cita-cita Kiai Dahlan. Ditulis di sana, melalui Muhammadiyah, Kiai Dahlan ingin “Memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam, memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam bagi seluruh anggota-anggota.” Begitu bunyinya. Diksi “menggembirakan” yang dipilih Kiai Dahlan, serupa dengan “joyful learning”-nya konsep Pembelajaran Mendalam Mendiknas. Ini serpihan yang pertama.

Serpihan kedua bisa dijumpai dari kasus “Al-Maun” yang merekam protes Soedja', santri Kiai Dahlan. Kisah ini begitu populer di kalangan orang Muhammadiyah. Farid Setiawan, dalam bukunya Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah 1911-1942 pada halaman 269-270 ada merekam dialog santri Sodja’ dan Kiai Dahlan soal “Al-Maun” ini.

"Kiai, mengapa hanya QS. Al-Ma'un yang diajarkan pada kami?" protes Soedja'. Terjadilah dialog singkat antara kiai dan santrinya berikut ini:

"Apa kamu sudah mengerti betul?" tanya Kiai Dahlan kepada Soedja'.

"Kita sudah hafal semua, Kiai," jawab Soedja'.

"Kalau sudah hafal, apa sudah kamu amalkan?" tanya Kiai Dahlan.

"Apanya yang diamalkan? Bukankah surat Al-Ma'un pun berulang kali kami baca untuk rangkapan Fatihah di kala kami solat?” Jawab Soedja'.

"Bukan itu yang saya maksudkan. Diamalkan, artinya dipraktekkan, dikerjakan! Rupanya saudara-saudara belum mengamalkannya. Oleh karena itu, mulai pagi ini saudara-saudara pergi berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah dapat, bawa pulang ke rumahmu masing-masing. Berilah mereka mandi dengan sabun yang baik, berilah pakaian yang bersih, berilah makan-minum dan tempat tidur di rumahmu. Sekarang juga, pengajian saya tutup dan saudara-saudara melaksanakan petunjuk-petunjuk saya tadi."

Sekiranya saya tidak salah memahami tujuan dan pesan dari dialog Kiai Dahlan di atas, rasanya ia serupa dengan “mindful learning” dan “meaningful learning”-nya konsep Pembelajaran Mendalam Mendiknas juga. Dengan dua serpihan ini, sampailah saya pada satu kesimpulan bahwa sejak awal Kiai Dahlan sudah mewacanakan deep learning kepada santrinya dan pada pendidikan Muhammadiyah yang digagasnya meskipun tidak dinyatakan sebagai deep learning secara eksplisit.

Maka, menjadi tidak mengejutkan bila pada 15 Februari 1923, Kiai Dahlan meresmikan klinik kesehatan Muhammadiyah yang sekarang menjadi rumah sakit PKU Muhammadiyah Jl K.H. Ahmad Dahlan No. 20 Ngupasan Gondomanan Yogyakarta sebagai bagian dari proses pembelajaran mendalam, bermakna, dan menggembirakan dari QS. Al-Maun. Sebulan sebelumnya, Kiai Dahlan lebih dulu meresmikan Rumah Singgah untuk orang miskin, PKO (Poesat Kesengsaraan Omoem). Pada waktu itu, siapa saja yang merasa sengsara tanpa melihat suku, agama, ras maka wajib ditolong oleh PKO Muhammadiyah. Dan, 23 Februari 1923 Kiai Dahlan wafat dengan meninggalkan legacy proses dari deep learning yang menginstitusi.

Ada dua hal besar yang ditinggalkan Kiai Dahlan. Pertama, bahwa Muhammadiyah adalah implementasi deep learning itu sendiri. Kedua, bahwa pengajaran dan pembelajaran Islam harus bermakna, mendalam, dan menggembirakan yang menawarkan problem solving dari permasalahan aktual yang terjadi di masyarakat. Lahirnya PKO, Rumah Singgah, Panti Asuhan, Rumah Sakit dan berbagai Amal Usaha Muhammadiyah, rasa-rasanya tidak salah bila kehadirannya dinyatakan sebagai buah dari implementasi deep learning pengajaran Kiai Dahlan.|

Pembelajaran Mendalam gagasan Pak Mu’ti ini bertemu pula pada pemikiran Michael Fullan. Pemikiran Fullan tentang deep learning tampaknya banyak dirujuk oleh Tim Deep Learning Kemendikdasmen. Framework Dimensi Profil Lulusan (DPL) PM mengambil 6 kompetensi yang digagas oleh Fullan. “Deep Learning is the process of acquiring these six global competencies: character, citizenship, collaboration, communication, creativity, and critical thinking."

Pada aspek prinsip, pengalaman pembelajaran, dan kerangka pembelajarannya pun tampaknya merujuk Fullan. Fullan memang mengulas banyak hal tentang deep learning ini dalam karyanya "Deep Learning: Engage the World Change the World” yang terbit pada 2018.

Pesan yang disampaikan Fullan, deep learning itu bukanlah kurikulum, melainkan pendekatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran baru ini dibangun untuk membekali peserta didik dengan berbagai kompetensi global melalui pemecahan masalah kehidupan nyata. Jadi, pembelajaran didekatkan pada problem lingkungan sosial peserta didik.

Pendekatan ini melibatkan perubahan peran guru. Di sini, guru menjadi aktivator dalam merancang pengalaman belajar yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Jadi, peran guru lebih dari sekadar pengajar. Fullan juga menekankan bahwa deep learning bukan hanya tentang penguasaan konten, tapi juga tentang pengembangan karakter, kewarganegaraan, dan keterampilan abad ke-21 yang dikenal sebagai "6Cs" yang sudah disinggung di atas.|

V. B Kovač dkk, dalam “The Why, What and How of Deep Learning: Critical Analysis and Additional Concerns” menyebut mengapa deep learning ini penting. Pertama, untuk merespons masyarakat global modern yang berubah dengan cepat. Kedua, untuk memproses sejumlah besar informasi baru yang terus masuk. Ketiga, untuk menghadapi kemunculan teknologi-teknologi baru. Keempat, untuk memahami bentuk-bentuk pengetahuan baru dalam dunia yang kompleks.

Bagi V. B Kovač, deep learning itu mencari makna dan pemahaman dengan mengungkap pola yang dapat memperkecil jarak antara potongan-potongan pengetahuan yang tampaknya tidak berhubungan. Maka, deep learning memungkinkan proses transfer pengetahuan ke bidang mata pelajaran lain. Dengan demikian, deep learning memfasilitasi pemahaman mendalam peserta didik terhadap konsep-konsep yang kompleks.

Langkah-langkah yang ditawarkan Kovač bagaimana deep learning itu dijalankan, pertama secara bertahap peserta didik mengambil peran yang lebih aktif dalam proses pembelajaran mereka. Kedua, mempraktikkan apa yang telah mereka pelajari dalam situasi yang tidak familiar. Ketiga, melihat relevansi dan konteks, berpikir dengan cara baru, bersikap kreatif, dan penuh rasa ingin tahu. Keempat, mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam satu konteks ke situasi baru untuk menemukan solusi. Kelima, melihat keterkaitan antar mata pelajaran dan secara aktif melakukan refleksi terhadap proses belajar mereka sendiri maupun siswa lainnya. Keenam, perlu merumuskan pertanyaan serta mencari jawabannya melalui upaya kolaboratif.|

Entah, apa karena saya yang belum memahami betul konsep deep learning ini, deep learning terasa terlalu saintifik pada mulanya. Ia sangat cocok untuk mata pelajaran science semisal IPAS atau Matematika. Rasanya, untuk mata pelajaran seperti Al-Qur’an Hadits, Fikih, Akidah Akhlak, apalagi SKI, kerangka operasional deep learning masih berkabut karena banyak berada pada domain afeksi.

Apalagi, dalam workshop-workshop yang berhubungan dengan desain pembelajaran, Mapel Agama sangat minim contoh dokumen yang tawarkan narasumber. Sementara contoh untuk Mapel IPAS atau Matematika dari Sabang sampai Merauke bisa dihadirkan. Huh! always annoying! 😂😂

Maka, contoh yang dikemukakan Bu Rizqa di Grand Zuri itu tentang Insect Hotel (Hotel Serangga) hasil dari proses deep learning kelas 5 SD di Australia, bagi saya sangat mencengangkan, tapi juga sangat menarik, menantang, bahkan terlalu bermakna. Ini gila, pikir saya meskipun tetap seperti blind untuk subjek yang saya ampu.

Saya resumekan soal Insect Hotel itu di sini sedikit dari merenungi contoh ini. Jadi, ada problem yang harus dipecahkan para siswa. Problem utama yang disodorkan adalah tanaman petani yang dimakan hama dan penggunaan pestisida. Bayangkan, anak kelas 5 SD disodorkan problem ini dan guru mereka membimbing proses pembelajaran yang deep. Mereka diajak memahami dunia serangga, jenis, karakter, dan manfaatnya di lapangan. Demikian pula mendalami tentang manfaat dan bahaya pestisida bagi tumbuhan, serangga, dan lingkungan. Lalu, siswa diminta menawarkan solusi atas problem di atas. Rasanya, ini berat banget ya, bila konteksnya anak kelas 5 SD di negara Konoha.

Rupanya, serangga dan penggunaan pestisida punya problem turunan bila dihubungkan dengan hasil temuan anak SD kelas 5 itu dari proses pembelajaran mereka. Pertama, tidak semua hewan kecil (minibeasts) adalah hama. Kedua, serangga baik membantu menyerbuki tanaman, menguraikan flora dan fauna yang telah mati, membuat tanah menjadi gembur, dan menjadi sumber makanan bagi satwa liar lainnya. Ketiga, penggunaan pestisida akan turut membunuh hama-hama saleh yang beriman itu tanpa kecuali, sedangkan tidak menggunakan pestisida membiarkan hama jahat yang kafir-kafir dan durhaka itu bebas merusak tanaman petani.😪

Problem inilah yang diolah dalam proses pembelajaran mendalam hingga menemukan kesimpulan pemecahan masalah. Pertama, ciptakan lingkungan yang ramah bagi serangga baik dengan menanam banyak tanaman asli, bunga liar, dan tanaman herbal. Kedua, gunakan pengendalian hama bebas bahan kimia ketika hama mulai bermunculan.

Kesimpulan pemecahan masalah ini  yang memantik ide. Pertama, lahirnya inovasi  Insect Hotel. Dengan pemahaman mendalam, bermakna, menggembirakan, dan kolaborasi, anak kelas 5 SD itu membangun semacam rumah yang menarik semua serangga dari merusak tanaman petani pindah menempati Insect Hotel yang mereka bangun. Serangga-serangga itu, hama baik dan hama jahat hidup berdampingan di dalam habitat baru; Insect Hotle. Hama-hama itu juga selamat dari dampak penggunaan bahan kimia karena penggunaan pengendalian hama bebas bahan kimia. Kedua, lingkungan terbebas dari dampak buruk penggunaan zat beracun. Dan ketiga, tanaman bebas hama. Ajiib!|

Saya dan Kepala Madrasah, Pendidik dan Tenaga Kependidikan MIM 2 Cpayung, Depok usai sharing deep learning. Foto milik MIM 2 Cipayung, Depok.

Dua hari sebelum berangkat ke Grand Zuri, ada permintaan Kepala Madrasah dan Kepala Sekolah Muhammadiyah di Depok. Saya diminta membawakan topik "Deep Learning" dalam rangkaian acara Raker Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Sementara saya baru bersiap untuk berangkat menadah limpahan materi deep learning ini. Ya sudah, mainkan.

Karena sama-sama guru dan bukanlah pakar deep learning semisal Bu Rizqa atau Pak Djamal yang ketua IGI DKI itu, saya mengambil istilah sharing, "Sharing Deep Learning" dari hasil karantina tiga hari di Grand Zuri dan pengalaman mengajar. Masih berdiri sharing deep learning ini di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, dihubungi SMA Muhammadiyah 4 Depok, salah satu sekolah swasta favorit di Kota Depok untuk acara yang sama. Pusing kepala Barbie. Apalagi medannya adalah guru-guru SMA. Biarlah, yang penting saya menang tua dari guru-guru berkemauan itu. Haaa.

Saya suka sekali foto saat sharing deep learning di depan guru-guru SMA Muhammadiyah 4 Depok ini. Saya tampak langsing di sana. Terima kasih fotonya Bu Ika.😇

Klik! Neuron bekerja. Dendrit, bagian dari sel saraf neuron yang berbentuk seperti cabang pohon yang menerima dan meneruskan impuls saraf dari neuron lain atau dari reseptor sensorik ke badan sel saraf soma saya bekerja sepanjang menyiapkan materi sharing. “Sensor!”

Tiba-tiba saja saya teringat materi wudhu pada pelajaran fikih.

Ah, pendekatan deep learning bisa sangat scientific pada pelajaran fikih dengan pola kemitraan pada pelajaran IPAS. Guru fikih menggarap pemahaman mendalam dan kebermaknaannya. Sedangkan guru IPAS menggarap sisi menggembirakan dan aplikatifnya dalam praktik problem solving-nya.

Selama ini dari sisi fikih, berwudhu itu hanya soal mengangkat hadas kecil dengan air yang suci dan menyucikan. Asal sudah memenuhi syarat dan rukunnya, sahlah wudhu itu. Dan, pembelajaran berhenti sampai di sini.

Akan tetapi, daya inovatif dan kreativitas guru fikih yang kuat dapat melihat peluang pada hadits Nabi kepada Sa’ad. “Kenapa kamu memakai air banyak sekali ya, sa’ad?” Maka sa’ad berkata: ‘Apakah ketika berwudhu tidak boleh memakai air terlalu banyak?’ Beliau bersabda: “Ya, walaupun kamu berwudhu di sungai sekalipun.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).

Problemnya, tiap kali berwudhu, ada begitu banyak air yang terbuang mubazir. Boleh jadi, volume air yang terbuang lebih banyak daripada air yang digunakan untuk membasuh anggota wudhu saat tangan tidak menadah air yang mengucur dari keran. Fenomena ini terus berlangsung sepanjang hari. Apalagi pemahaman tentang hemat air ketika berwudhu belum merata di kalangan umat islam. Problemnya adalah, berapa volume air terbuang sia-sia dalam sekali wudhu, sehari semalam, seminggu, sebulan, atau setahun? Sedangkan mubazir itu temannya setan.

Saya belum mendapati model pembelajaran deep learning untuk memecahkan problem ini, tapi, bayangan di kepala saya, langkah-langkahnya tidak jauh berbeda dengan langkah-langkah pembelajaran Insect Hotel anak Kelas 5 SD di Australia itu. Jadi, guru fikih dan guru science bermitra pembelajaran, berkolaborasi untuk merancang pembelajaran mendalam berbasis problem mubazir air.

Di sini, siswa belajar mendalam tentang wudhu dan belajar mendalam tentang cara kerja keran air otomatis yang bisa mengalirkan dan berhenti secara otomatis menggunakan sensor untuk mendeteksi keberadaan benda di dekatnya. Belajar bagaimana mengaktifkan katup solenoid untuk membuka aliran air. Belajar tentang sensor yang akan mengirim sinyal untuk menutup katup. Hasilnya sistem keran yang bekerja otomatis, di mana saat tangan menadah keran, air mengalir. Saat tangan diangkat untuk membasuh anggota tubuh, air berhenti mengalir secara otomatis.

Yeey! Ajiib Pak Aqsol guru fikih yang keren. Gaskeun!|

Insect Hotel dan keran wudhu otomatis ini saya jadikan contoh bagaimana model pembelajaran deep learning dijalankan. Feeling saya meraba, dua contoh inilah yang membuka kunci pemahaman guru-gguru berkemajuan itu soal deep learning. Di sana saya menemukan “AHA moment” dari binar mata mereka yang menyala di akhir sesi.

Barakallah guru-guru pencerah, guru-guru berkemajuan. Tengkyu sudah ngelibatin saya kali ini. Kita semua punya tanggung jawab besar menihilkan "Schooling without Learning" di mana peserta didik sekolah tapi tidak belajar melalui pendekatan deep learning. 

Depok, 9 Juli 2025.
Di antara sesapan kopi dan kerut dahi menyelaras E-Modul with Deep Learning.

Bintang di Hati Ayah

Aku, Pak Sunir, Kakak Perempuan, dan Ibunda Adelia Kusumawardhani. Foto koleksi Abdul Mutaqin atas seizin Pak Sunir.

Kalian berdua boleh jadi tidak tercatat sebagai yang terbaik di panggung wisuda kemarin, tapi bagi kami ayah kalian, kalianlah yang terbaik. Bagi kami, setiap anak adalah istimewa, setiap kalian adalah bintang di hati ayah

25 tahun yang lalu, aku belajar di sini, di Fakultas Tarbiyah, program Diploma dan Sarjana. Wisuda Diploma dengan Rektor Prof. Dr. Quraish Shihab MA. Wisuda Sarjana dengan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. Saat itu masih IAIN. Kampus Biru ini belum bertransformasi menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia masih “jadul” betul.

Dua hari kemarin, Sabtu 24 Mei 2025, aku duduk di ruang Auditorium Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Payah juga mengumpulkan memori waktu dahulu belajar di sini. Terseok-seok rasanya menjembatani kesenjangan bangunan fisik IAIN dengan UIN sekarang. Rasanya, “baynassamaa wassumuur”, bak jarak langit dan dasar sumur.

Aku ingat betul, dahulu banyak orang mengejek fisik kampus IAIN dengan sebutan seperti bangunan “pabrik kaos”. Rasanya, otakku mendidih. Maka, agak payah mengumpulkan memori lampau dan menyatukannya pada acara wisuda ke-136 Sabtu kemarin dengan fisik bangunan UIN sekarang.

Dalam sambutannya, Pak Rektor ada menyinggung pesan untuk wisudawan. “Saya yakin perjalanan kalian untuk sampai ke titik ini bukanlah hal yang mudah. Setiap orang memiliki perjuangannya masing-masing. Ada biaya, tenaga, pikiran, dan doa dibalik terwujudnya kalian menjadi wisudawan pada hari ini,” ucap Prof. Asep Saepuddin Jahar, M.A., Ph.D.

Di penghujung sambutannya, Pak rektor menegaskan, “Jangan sampai kesuksesan kalian hari ini menyakiti hati orang tua kalian. Jangan alpa dalam mengucapkan terima kasih. Aktualisasikan rasa terima kasih itu dengan karya, prestasi, dan kerja-kerja besar kalian di masa yang akan datang. Doa saya selalu bersama kalian para wisudawan, wisudawati,” pesan lulusan McGill University dan Leipzig University ini sebelum turun mimbar.|


Di atas panggung wisuda, ada putriku Mikal Zidna Fajwah. Ruang prosesi terasa lebih khidmat kurasakan saat kuncir di toganya dipindahkan. Bahagia dan haru lalu datang begitu saja memancing mataku sedikit berkaca-kaca, menghangat sampai ke dada.

Aku sangat bersyukur. Mikal selesai menempuh studi di kampus di mana dahulu ayah dan bundanya belajar. Aku wisuda yang ke-49, November 2000. Ella istriku wisuda yang ke-56 atau 57, Maret 2004. Sekarang, ada tiga alumnus UIN di rumah kami, Aku, Ella, dan Mikal.

Ah, biasa aja kali. Ya, boleh jadi begitu. Namun tidak bagiku.

Bagi masyarakat kelas tertentu, boleh jadi kuliah di UIN itu ringan, seringan mereka merogoh kocek seharga satu sampai dua ratus ribu rupiah untuk secangkir kopi dan sepotong cake-nya sekali hangout. Bagi masyarakat kelas ini, harga segitu tidak penting, sebab ia bukan persoalan kopi dan cake-nya. Ini persoalan prestige, soal gaya hidup yang tidak mengenal batas mahal dan murah.

Akan tetapi bagiku, mengantarkan Mikal sampai pada tangga wisuda di UIN itu kesempatan mahal dan mewah. Maka, ketika kuncir toga di kepalanya digulir di depan Pak Rektor, ada haru bahagia. Inilah bahagianya wali wisudawati yang sesapan kopinya cukup di kedai dengan harga goceng saja. Se-goceng itu pun sudah dengan sepotong pisang goreng pula sekali hangout.

Memang, wisuda bukanlah semata-mata gula-gula dari pahitnya belajar. Bukan pula ukuran keberhasilan dari proses belajar yang panjang. Tidak, wisuda hanyalah satu fase dari fase-fase pendewasaan dalam proses belajar. Pun, hakikat belajar itu—dalam agama kita—tidak mengenal “wisuda” sebagai ujung akhir belajar, sebab proses belajar baru berhenti bila jasad sudah masuk ke liang lahad. Sesungguhnya, kematianlah “wisuda” dari tugas belajar seorang muslim yang sepanjang hayat itu.

Akan tetapi, sebagai sebuah budaya dari “peradaban belajar”, wisuda itu harus dicicipi juga manisnya. Biar otak dan hati ada rihatnya juga dari rasa pahit bergelut dengan mata kuliah, peliknya mengulik literatur, sukarnya dosen fulan berkompromi karena asyik dengan dirinya sendiri, perihnya skripsi yang dicoret-coret, ah banyaklah lagi, terlalu panjang bila disebutkan semua. Pak Rektor sudah meringkasnya dengan empat keyword; biaya, tenaga, pikiran, dan doa.

Maka, wisuda itu seperti hari pembalasan. Saat itu, wisudawan yang beriman masuk berbondong-bondong ke ruang wisuda jannatun na'im menikmati buah amal dengan wajah berseri-seri.|

Sampailah satu momen di mana hadirin menahan perasaan dengan susah payah. Aku tidak tahu, ada berapa tetes air mata yang diusap saat itu sebab ia tak tertahankan lagi. Orang tua wisudawan asal Cirebon yang duduk di sampingku kutengok sudah beberapa kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Mungkin dia malu bila air matanya dilihat orang di sampingnya. Padahal, mataku pun hampir basah oleh bulir-bulir bening seperti rinai hujan yang bersusulan. Hanya saja aku sudah lebih dahulu mengusapnya diam-diam agar mataku tetap terlihat kering.

Adalah ayah dari wisudawati Adelia Kusumawardhani naik ke panggung. Kedua tangannya memeluk foto Adelia. Boleh jadi, bukan maksud laki-laki itu ingin menghadirkan Adelia secara fisik, melainkan kewajibannya menunaikan hak Adelia yang terakhir sebagai wisudawati.

Adelia sudah berpulang lima hari menjelang Adelia diwisuda. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan laki-laki itu sejak ia berangkat pergi ke kampus untuk mewakili putrinya. Allah ya, Rabb. Saat itulah air mataku tidak bisa aku tahan lagi. Biarlah ia jadi perpaduan air mata suka dan duka dalam satu momen.

Aku tidak kenal Adelia. Tidak juga kenal ayahnya. Karena nama Adelia disebut saja, jiwanya didoakan, dan lalu suasana haru menyeruak memenuhi ruang sidang Senat Terbuka. Siapa yang tidak hanyut terbawa haru? Seakan-akan, aku merasakan jiwa Adelia sedang tersenyum semringah sambil menikmati limpahan rezeki di alam barzakhnya mendapati sang ayah hadir sambil menunjukkan foto putri yang amat dia banggakan. Semua rasa sayang tumpah mendoakan kesejahteraan untuk Adelia dalam hitungan tiga sampai empat menit. Itulah momen untuk Adelia Kusumawardhani, S.Pd.

Aku percaya, setiap ayah dan ibu menantikan momen ini setelah energi dihabiskan untuk mengantarkan putra-putri mereka sampai pada tangga wisuda. Namun bagi ayah Adelia, saat tangga itu akan ditapaki putrinya tinggal sekelok lagi, kematian lebih dahulu menjemput sang putri. Hati siapakah yang tidak masygul mengenang Adelia dan melihat ketabahan ayahnya saat itu?

Bilapun ada jiwa yang tidak tersentuh haru pada momen untuk Adelia kemarin, mungkin jumlahnya tidak lebih dari hitungan sebelah tangan saja. Bilapun ada, tidak berdosa juga sekadar bertanya pada diri sendiri, terbuat dari apa hati nurani yang demikian itu. Aku percaya, tidaklah demikian hati nurani 569 wisudawan serta undangan yang memenuhi ruangan Auditorium Harun Nasution kemarin itu. Semua hati sejenak tenggelam mengenang Adelia dan tulus mendoakannya.

Di luar auditorium, aku menemui ayahnya Adelia. Aku sapa sepantas mungkin yang aku bisa. Aku raih tangan laki-laki ini sambil memperkenalkan diri sebagai salah seorang wali wisudawan dengan suara sedikit lirih. Ada rasa berat, takut laki-laki ini menjadi tidak nyaman dengan sapaanku. Moga-moga aku masih dipandang elok karena mengambil momen haru untuk membincangkan Adelia.

Seperti harapanku, laki-laki ini murah hati sekali. Dia menyambut hangat sapaanku. Wajahnya tenang. Malah, aku jadi terbata-bata mendapati keramahannya saat pelan-pelan menanyakan perihal Adelia lebih jauh. Mataku juga basah lagi.|

Dengan senang hati, Ayah Adelia menyediakan waktu kuajak berbincang. Laki-laki ini lalu berkisah. Tutur bahasanya tenang, runut dan runtut. Bunda dan kakak perempuan Adelia sesekali menimpali meski lebih banyak menyimak saja perbincangan kami. Ada banyak pelajaran hidup milik Adelia yang kupetik dan kubawa pulang.

Adelia lulusan SMA Jurusan Fisika. Adelia masuk UIN pada 2018, mengambil Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Karena sakitnya yang membutuhkan perawatan intens, menjadikan masa studi Adelia harus selesai dalam batas waktu maksimal.

Adelia sudah jatuh sakit saat memulai menulis skripsi. Hanya saja, Adelia punya daya juang sangat kuat untuk menyelesaikan studinya. Dua kali menjalani kemoterapi tidak juga membuat jiwa Adelia patah. Menangis sambil mengeluhkan sakitnya pun tidak. Adelia tetap tegar, matanya tetap kering, niatnya konsisten mempertahankan tekad untuk lulus dari UIN.

Saat sidang skripsi, kesehatan Adelia belum pula membaik. Sakit yang dideritanya sedang meningkat perihnya. Akan tetapi, kekuatan argumentasi saat Adelia mempertahankan skripsinya di hadapan penguji membuktikan semuanya. Rasa sakit dialihkannya menjadi daya dorong menuntaskan kewajiban akademik yang terakhir. Boleh jadi, begitulah memang Adelia. Rasa sakitnya diabaikan meskipun sudah di ujung stadium. Hasilnya, Adelia lulus dan mempersembahkan wisuda untuk ayah, ibu, juga kakak perempuannya Sabtu kemarin.

Adelia gadis dengan karakter tidak mau dikasihani. Kanker yang dia derita bukan alasan baginya bertekuk lutut pada belas kasihan orang. Bahkan belas kasih dari ayah, ibu, dan kakak perempuannya. Adelia memang menikmati belas kasih itu sebatas lazimnya keluarga yang menginginkan kesembuhan dari orang yang dia sayangi, bukan dengan alasan dia harus dikasihani karena sakitnya.

Pak Sunir tersenyum sambil berkata di akhir perbincangan kami. “Allah lebih sayang pada Adelia, Pak.”

Aku menatap foto Adelia di tangan ayahnya sejenak. Kata kakak Adelia, foto selfie itu dibuat Adelia pada malam Minggu, 17 Mei 2025. Lusa, pada Senin 19 Mei 2025 Adelia berpulang. Seharusnya, Sabtu, 24 Mei 2025 Adelia wisuda. Namun, takdir batas usia telah lebih dahulu mengantarnya pada panggung wisuda kehidupan yang sesungguhnya.

Mahasiswa yang sedang berjuang menyelesaikan studi perlu bercermin dari Adelia. Adelia adalah ketekunan, kesabaran, ketahanan, dan tidak mengenal kata menyerah untuk urusan belajar. Gadis ini bisa lulus meskipun dikepung problem kesehatan. Pantaslah bila ayah, ibu dan kakak perempuannya merasa sangat beruntung pernah memiliki Adelia dalam kehidupan mereka. Aku percaya, Adelia akan selalu mereka rindukan. Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa'aafihaa wa’fu’anha.|

Sebagai seorang lelaki, rasanya aku belumlah seberapa tabah dibanding Pak Sunir. Perihal membentuk mindset anak seperti karakter Adelia, aku masih tercecer di belakang. Andaikata satu waktu aku bertemu Pak Sunir lagi, ingin aku berbincang lebih hangat. Aku penasaran, bagaimana laki-laki ini membentuk karakter Adelia menjadi anak perempuan yang tidak mudah menyerah, pantang mengeluh saat menghadapi masalah, dan sosok perempuan yang tidak mau dikasihani.

Kedamaian dan kelimpahan kebaikan untuk Wisudawati Adelia Kusumawardhani yang telah menikmati kesempurnaan peran. Keteguhan dan kesabaran mengemban amanah ilmu untuk Mikal Zidnah Fajwah masa amalmu di dunia ke depan. Selamat atas wisuda kalian masing-masing.

Kalian berdua boleh jadi tidak tercatat sebagai yang terbaik di panggung wisuda kemarin, tapi bagi kami ayah kalian, kalianlah yang terbaik. Bagi kami, setiap anak adalah istimewa, setiap kalian adalah bintang di hati ayah. Ya Allah, limpahilah terus rahmat-Mu untuk putra-putri kami. Aamiin.

Ciputat, Senin, 26 Mei 2025.
Ruang guru yang hangat oleh pempek dan cuko Bu Rina Zul.

Muhasim dan Gerakan Tani; Sorotan Tajam Buku Matahari Terbit di Kampung Kami

 

Matahari Terbit di Kampung Kami


yang berperan dalam gerakan tani di Rangkapan Jaya itu dan Simalungun itu saya.

Poin ketiga sorotan Tajam buku Matahari Terbit di Kampung Kami yang disampaikan H. Nawawi soal peran Muhasim. Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pulo Periode 1987-1995 ini pernah menjadi utusan KTNA (Kelompok Tani dan Nelayan Andalan) Depok pada acara Pertemuan Nasional (Penas) KTNA VI di Desa Marihat Bandar, Simalungun, Sumatera Utara pada 22-27 Juli 1986.

Buku Matahari Terbit di Kampung Kami memuat sejarah berdirinya Muhammadiyah Ranting Pulo. Mengulas juga para pimpinan ranting yang sudah wafat. Muhasim adalah salah satu Ketua Pimpinan Ranting. Maka, pada bagian dari sub judul buku ini ada mengulas secara ringkas biografi dan kiprah Muhasim, termasuk informasi tentang keterlibatan Muhasim dalam gerakan tani pada “Kelompok Tani Sari Jaya” di Kampung Pulo dan KTNA.

Kiprah Muhasim pada gerakan tani hampir semua orang asli Kampung Pulo tahu. Saya juga tahu, karena sempat dilibatkan sebagai anggota “Kelompok Tani Sarijaya” meskipun hanya sekadar penggembira memakai kaus kuning Golkar bertuliskan “Kelompok Tani Sari Jaya” sewaktu ada acara kunjungan pejabat meninjau gerakan tani di Kampung Pulo.

Narasi kiprah Muhasim dalam gerakan tani dan KTNA, bisa sampai ke Simalungun, dan bertemu dengan Ibu Tien Soeharto di Istana Negara saya dapat melalui wawancara dengan ahli warisnya. Informasi tambahan tentang KTNA—terutama soal perhelatan di Simalungun—saya gali dari media untuk melengkapi hasil wawancara.

Akan tetapi, narasi tentang kiprah Muhasim dalam gerakan tani dan soal Pertemuan Nasional (Penas) KTNA VI di Desa Marihat Bandar, Simalungun, Sumatera Utara dinilai “salah fatal”. Dalam waktu yang sempit menjelang bedah buku itu, H. Nawawi berkata, “yang berperan dalam gerakan tani di Rangkapan Jaya itu dan Simalungun itu saya.” Beliau kemudian menunjukkan beberapa dokumen foto dan piagam penghargaan untuk memperkuat alasan kesalahan fatal narasi pada buku saya ini.

Sekali lagi, saya sangat terbuka dengan kritik atau sorotan tajam atas semua buku yang saya tulis dengan penghakiman “salah fatal” sekalipun. Apabila kritik itu argumentatif dan substansial, saya sangat senang dan tidak keberatan untuk memperbaiki atau memasukan catatan tambahan pada edisi penerbitan berikutnya. Namun, sorotan H. Nawawi untuk kasus narasi keterlibatan Muhasim pada gerakan tani di Kampung Pulo dan Simalungun sambil menyodorkan dokumen-dokumen, itu sama sekali bukan “salah fatal”, melainkan hanya sekadar pemberitahuan bahwa H. Nawawi yang berperan.

Saya tidak mengingkari peran H. Nawawi seperti yang diutarakannya sebelum acara launching itu. Namun, pahamilah juga, saya sedang menarasikan fakta Muhasim sebagai sosok Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pulo, pernah aktif dalam gerakan tani, dan pernah ikut menghadiri Pertemuan Nasional (Penas) KTNA VI di Desa Marihat Bandar, Simalungun, Sumatera Utara pada 22-27 Juli 1986. Itu saja. Jadi, saya sedang menarasikan sosok Muhasim, bukan orang lain.

Adapun fakta bahwa H. Nawawi lah yang berperan dalam gerakan tani di Rangkapan Jaya Lama dan ikut hadir di Simalungun, itu soal lain. Meskipun tidak disinggung perannya pada narasi soal Muhasim di buku buku Matahari Terbit di Kampung Kami, itu bukan suatu kesalahan, apalagi “salah fatal”.

Inilah tiga poin “salah fatal” pada buku Matahari Terbit di Kampung Kami yang langsung disampaikan H. Nawawi kepada saya. Saya tidak menanggapi “salah fatal” yang lain yang dibeberkan H. Nawawi kepada beberapa orang—saya tahu dari informasi yang sampai kepada saya soal ini. Saya tidak menanggapi karena takut keliru menangkap substansi dari kesalahan yang dimaksud beliau.

Maka, bolehlah saya sebut, sorotan tiga poin “salah fatal” pada buku buku Matahari Terbit di Kampung Kami terlalu dipaksakan. Baiklah saya rangkum jawaban saya pada dua tulisan sebelumnya di sini.

Sorotan pertama, soal tahun 1961 pada Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, nomor 1514/A, tanggal 30 September 1961 sebagai legalitas pengakuan secara resmi PP Muhammadiyah atas keberadaan Muhammadiyah di Depok. Pada poin ini, H. Nawawi salah persepsi. Dalam persepsi saya, surat PP Muhammadiyah itu bukan menunjukkan berdirinya Muhammadiyah di Depok pada 1961, tapi legalitas pengukuhan berdasarkan dikeluarkannya surat tersebut. Adapun Muhammadiyah di Depok, jelas-jelas saya tulis pada buku  Matahari Terbit di Kampung Kami sudah dirintis H. Mualim Usman pada 21 Juni 1953, sebulan sebelum beliau menghadiri Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Purwokerto yang berlangsung pada 9-14 Juli 1953. Sepulangnya dari muktamar itulah H. Mualim Usman mendirikan Muhammadiyah di Kukusan.

Sorotan kedua narasi soal H. Nipan pada buku Matahari Terbit di Kampung Kami. Narasi tentang H. Nipan pada buku saya ini sangat menentang Muhammadiyah dan melontarkan kalimat provokatif itu disebut H. Nawawi “salah fatal”. Menurut H. Nawawi, pelakunya bukan Nipan, melainkan H. Saprin sambil menunjukkan narasi pada bukunya; 30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok.

Pada poin ini, H. Nawawi lebih salah persepsi lagi. Sebab, Nipan yang H. Nawawi bayangkan, bukanlah H. Nipan yang dimaksud narasumber saya. Ini jelas salah orang. Memang, H. Saprin mengeluarkan juga kalimat provokatif. Tapi, bunyi kalimat provokatif H. Nipan dan H. Saprin beda; beda kata, beda kalimat, dan beda redaksi. Coba bandingkan:

Kata H. Nipan: “Kalau Orang Muhammadiyah udah lebih paham Al-Qur'an dan Hadits, kalau kita kalah dalam urusan ini, jangan diam saja. Pukulan jalanin!”
Kata. H. Saprin: “Antum rijalun wa nahnu rijal.”

Dua orang ini sama-sama penentang Muhammadiyah yang sangat keras. Dua orang ini sama-sama menyampaikan kalimat provokatif di rumah Micang. Hanya saja, H. Nawawi mengutip ucapan H. Saprin, narasumber saya mengutip ucapan H. Nipan.

Jadi, sorotan “salah fatal” buku Matahari Terbit di Kampung Kami soal H. Nipan ini, tidak lebih seperti peribahasa “jauh panggang dari api”. Lagi pula, perlu juga H. Nawawi memahami teknik mengutip, dalam hal ini soal sumber kutipan pada footnote sebuah buku. Pada footnote buku Matahari Terbit di Kampung Kami, saya tidak mengutip dari buku 30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok. Terus, “salah fatal”-nya di mana?

Sorotan ketiga, soal Muhasim, ulasan pada tulisan ini.

Lebih dari itu, saya mengucapkan terima kasih kepada H. Nawawi yang memberi perhatian pada buku saya apapun motivasi di balik sorotan tajamnya pada buku saya ini. Namun, sebagai penulis, bila sorotan itu memang perlu saya tanggapi sebagai tanggung jawab ilmiah, maka saya punya ruang untuk melakukannya, baik secara lisan maupun tulisan. Semoga beliau sehat-sehat selalu.

Kamis, 22 Mei 2025.
Ruang kelas yang sejuk sambil nungguin PH Sejarah Kebudyaan Islam

Cover Untuk Ustaz Budi

Cover dua wajah: Kemah Ceria Indrokilo dan Pena Anak Santri

Mataku nanar, panas, dan berkaca. Mulutku terasa terkunci meski bibir bergetar. Mendengar kabar duka ini seakan aku tidak siap. "Tidak! Ustaz Budi masih ada!" Jeritku dalam hati.

MALAM Jum’at kemarin, aku minta dibuatkan rebusan jahe dan gelar merah. Aku ingat, hari Selasa tiga hari sebelumnya, Ustaz Budi baru panen jahe dan mengabariku. Nyambunglah otak dan hatiku kepada Ustaz Budi dan keluarganya yang hangat di Boyolali. Sempat pula beliau bercanda dan aku timpali.

“Ada bagian buat Ustadz... 😆”

“Alhamdulillah. Kirim lewat WA, Ustaz,” jawabku.

Pagi harinya, Jumat, 16 Mei 2025 tetap berangkat mengajar. Wedang jahe semalam ada juga efeknya. Jam mengajar hari itu hanya empat jam, pukul 07.00 sampai pukul 10.40. Namun, sepuluh menit sebelum jam mengajar terakhir berakhir, aku izin keluar kelas lebih dahulu. Badanku terasa agak demam, greges-greges, dan cepet capek. Lalu, aku izin pulang saja ingin istirahat di rumah.|

Aku dan Ustaz Budi kerap berbagi cerita hal-hal kecil seperti soal panen jahe itu. Barulah sekarang aku menyadari, bahwa berbagi cerita hal-hal kecil itu menyuburkan kedekatan kami masing-masing. Hanya saja, dengan rasa dekat itu aku belum sempat mengutarakan di hadapan Ustaz Budi bahwa aku ingin beliau menganggapku sebagai adik. Sedangkan aku, diam-diam sudah menempatkan Ustaz Budi dan Umi Ipit sebagai kakakku sejak aku sering bertamu sewaktu Ustaz Budi dan Umi Ipit masih di Bambanglipuro, Bantul.

Literasi menulis adalah sisi yang paling merekatkan hubunganku dengan Ustaz Budi. Seolah, dunia menulis itu menjadi sifat identik kami. Rasanya, bila sudah diskusi soal menulis dan buku, itu seperti jalan yang tidak ada ujung buat berhenti. 

Ada diskusi pada 9 Maret 2025 yang lalu. Diskusi ini soal soal draft cover dua muka untuk calon buku karya terbaru anak-anak panti yang dibimbing Ustaz Budi "Kemah Ceria Indrokilo" dan karyanya sendiri "Pena Anak Panti".

Aku diminta membuat cover buku ini. Namun, karena Ramadhan kemarin jadwalku cukup selip, habis Ramadhan baru mungkin bisa aku usahakan. Berharap pula penundaan sampai akhir Ramadhan tidak mengganggu mood Ustaz Budi turun, aku kirim pesan buat meyakinkannya, “Nyalakan terus api literasi panti”. Dibalasnya pesanku itu, “Dukungan dan harapan Ustadz Abdul sangat memotivasi kami... 😆💪✊”

Sekira pertengahan Ramadhan aku minta kisi-kisi cover. Diberinya aku elemen-elemen dasar. Aku mikir keras menerjemahkan bayangan cover yang diminta Ustaz Budi. Karena tidak bertemu langsung buat diskusi bagaimana bentuk perwajahan yang diinginkan, aku exercise saja. Pelan-pelan aku kerjakan pada hari keempat lebaran dan selesai dalam dua hari.

Sebenarnya, aku belum biasa merancang cover buku. Aku lebih mahir mengatak isi buku daripada cover. Tapi, aku coba juga mengerjakannya pelan-pelan. Sampai aku yakin draft benar-benar mendekati dugaan bayangan Ustaz Budi, aku sodorkan hasilnya. Ustaz Budi berteriak, “Wowww... mantapz bingitz... 👍👍👍,” saat cover mendarat di layar WhatsAppnya. Senanglah aku.

Kira-kira dua hari menjelang lebaran, Ustaz Budi minta diusahakan novelku; Pengantin Fort van der Capellen. Karena aku tidak punya barang satu eksemplar saja, aku coba hubungi Retna, kolegaku, pustakawan Madrasah Pembangunan, barangkali dia masih menyimpan barang satu eksemplar yang masih segel. Habis pula rupanya novel itu karena sudah diinput semua menjadi bahan koleksi perpustakaan.

Aku tawarkan saja dummy edisi revisi untuk dibaca Laskar Badar Muhammad. Aku kirim novel itu. Aku selipkan pula buku biografi Sutrisno Muslimin Sang Inovator: Pendidikan, Dakwah, dan Politik. Biografi ini diterbitkan Buku Republika pada April 2023. Aku pikir, biografi yang kutulis ini cukup pas dinarasikan untuk adik-adik panti survive dan belajar kesuksesan dari sosok Sutrisno Muslimin.|

Cover calon buku "Kemah Ceria Indrokilo", "Pena Anak Panti" dan "Pengantin Fort van der Capellen" menjadi penutup diskusi aku dan Ustaz Budi untuk selamanya. Sabtu pagi kemarin, 17 Mei 2025, kabar mengejutkan aku terima dari putriku Mikal Zidna Fajwah bahwa Ustaz Budi Nurastowo berpulang. Ya, Allah, cover itu seperti khusus aku persembahkan sebagai “Cover Untuk Ustaz Budi” di akhir hayatnya bergelut dengan literasi menulis. 

Mataku nanar, panas, dan berkaca. Mulutku terasa terkunci meski bibir bergetar. Mendengar kabar duka ini seakan aku tidak siap. "Tidak! Ustaz Budi masih ada!" Jeritku dalam hati. Sampai kemudian aku sadar sepenuhnya bahwa jiwa ini hanyalah titipan setelah membaca sendiri broadcast dari Grup Alumni Pondok Pesantren Muhammadiyah Asy Syifa Bambanglipuro Bantul yang disodorkan putriku. Pupus sudah rencana kami bisa makan wader balado di panti kapan waktu aku datang berkunjung.

Aku biarkan mataku basah. Mata istriku basah. Mata Putriku basah. Di atas balkon lantai dua rumahku pagi itu, air mata kami bertiga tidak bisa lagi dibendung. Bukan semata karena sedih kehilangan, tapi karena begitu banyak kenangan manis kami bersama Ustaz Budi yang tidak mungkin bisa diulang kembali. Aku, istri, dan putriku kehilangan guru, sahabat, dan kakak yang kami banggakan.

Aku yang tidak bisa menjangkau jenazahnya Sabtu pagi itu hanya bisa merangkai doa. Allah ya, Rabb. Sayangi Ustaz Budi di sana. Ampunkan segala khilafnya. Terimalah segala amal kebaikannya meski hanya setitik debu di antara bongkahan kebaikan yang sudah ditorehkan. Allahummaghfir lahu warhamhu wa aafihi wa'fu anhu.

Selamat jalan Mas Budi, abangku tercinta. Biar jasad kita berpisah, kontak jiwa kita tetap aku jaga tersambung.|

Depok, Ahad siang, 18 Mei 2025.

H. Nipan dan H. Saprin: Sorotan Tajam Buku Matahari Terbit di Kampung Kami

Matahari Terbit di Kampung Kami

Salah lu, Wi. Bukan Nipan itu yang gua maksud, tapi H. Nipan, guru ngaji, orang Cipayung, mertuanya Si Micang,” tegas M. Ma’ruf. “Nipan yang lu maksud mah bukan guru ngaji, juga belom haji,” tegas M. Ma’ruf sekali lagi.

Buku “Matahari Terbit di Kampung Kami” yang saya tulis menyertakan footnote atau catatan kaki. Footnote itu saya maksudkan sebagai keterangan tambahan, memperkuat data dan rujukan, dan mengapresiasi sumber informasi. Saya maksudkan pula untuk menghindari plagiarisme dan memberikan informasi lebih mendalam tanpa mengganggu alur teks utama buku yang saya tulis. Maka, apabila pembaca merasa kurang puas dengan narasi yang saya hadirkan di buku ini, atau kurang yakin atas informasi yang saya sajikan, pembaca bisa merujuk sumber kutipan sesuai footnote yang saya cantumkan.

Maka, poin kedua sorotan H. Nawawi pada buku “Matahari Terbit di Kampung Kami”—juga dengan bahasa “salah fatal”—yang memuat statement H. Nipan dan menurut H. Nawawi adalah statement H. Saprin bisa dikembalikan pada footnote dari mana peristiwa itu saya kutip.

Perlu saya spill sedikit tentang H. Nipan dan H. Saprin ini supaya jelas siapa mereka dalam eskalasi konflik pada awal-awal Muhammadiyah berdiri di Rawadenok dan Pulo. Kedua mereka ini tokoh Ahlussunnah wal Jamaah, penentang dakwah Muhammadiyah yang paling gigih.

Lalu, mengapa soal H. Nipan dan H, Saprin dipermasalahkan H. Nawawi dan menjadi dasar menilai pada bagian dari buku “Matahari Terbit di Kampung Kami” sebagai “salah fatal”?

Begini masalahnya.

Pada halaman 53 dan 54 buku Matahari Terbit di Kampung Kami ada narasi peristiwa yang melibatkan H. Nipan. Saya screenshot narasi tersebut dan saya turunkan di sini. Berikut screenshot-nya:




Narasi dan statement H. Nipan di atas saya kutip dari buku saya sebelumnya; “Tarawih Terakhir”. Narasi itu saya olah dari hasil wawancara dengan M. Ma’ruf. Peristiwa H. Nipan menyampaikan ceramah bernada agitasi di rumah Micang itu, diketahui M. Ma’ruf, bahkan ia hafal statement yang dilontarkan H. Nipan waktu itu.

Biar lebih jelas, saya screenshot juga narasi dari buku “Tarawih Terakhir” untuk saya turunkan di sini:



Menurut H. Nawawi, tokoh yang berceramah di rumah Micang itu bukan H. Nipan, melainkan H. Saprin. Kalimat yang dilontarkan H. Saprin pun bukan : “Kalau Orang Muhammadiyah udah lebih paham Al-Qur'an dan Hadits, kalau kita kalah dalam urusan ini, jangan diam saja. Pukulan jalanin!”, melainkan kalimat: “Antum rijalun wa nahnu rijal”.

H. Nawawi memang ada memuat peran H. Saprin sebagai sosok yang sangat keras menentang dakwah Muhammadiyah saat itu pada bukunya “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok”. Pada bukunya itu, narasi ini dimuat pada halaman 55. Supaya jelas, saya lampirkan hasil jepretan halaman dimaksud di sini:



Karena persoalan ini, buku saya disebut “salah fatal”.

Oke, meskipun wajah memerah mendengar penilaian itu, tidak apa-apa. Penilaian ini malah membuat saya penasaran. Saya temui kembali narasumber saya; M Ma’ruf untuk meminta konfirmasi soal H. Nipan ini. Boleh jadi memang narasumber saya keliru mendeskripsi tokoh seperti yang dimaksud H. Nawawi.

Akan tetapi, M. Ma’ruf malah memberikan penjelasan tambahan soal H. Nipan ini. Artinya, sosok H. Nipan dalam konteks pendiriannya menentang dakwah Muhammadiyah dan menyampaikan ceramah bernada agitasi di rumah Micang yang saya tulis pada “Tarawih Terakhir” dan saya kutip untuk buku “Matahari Terbit di Kampung Kami” adalah benar, bukan H. Saprin tokoh yang dimaksud H. Nawawi.

Maka, kesimpulan saya, pertama, H. Nawawi tidak paham, atau belum paham, atau pura-pura tidak paham soal teknik footnote dan kutipan dalam sebuah buku. Di buku “Matahari Terbit di kampung Kami”, jelas sekali saya cantumkan dari mana sumber narasi H. Nipan itu saya ambil. Artinya, saya tidak mengutip buku “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok” dalam konteks H. Nipan.

Kedua, penulis yang tidak mengutip —katakanlah saya tidak mengutip dari buku H. Nawawi, tapi mengutip dari sumber lain—dari satu buku di antara banyak sumber, tidak berarti penulis itu melakukan “kesalahan fatal”, meskipun kutipan itu sama substansinya. Sebab, sumber atau pelaku sejarah dalam satu peristiwa itu boleh jadi tidak tunggal. Persoalannya terletak dari sumber mana kutipan itu diambil.

Lagi pula, bunyi statement H. Nipan yang saya kutip jelas berbeda dengan bunyi statement H. Saprin meskipun maknanya sama-sama menentang dakwah Muhammadiyah. Fakta ini saja sudah cukup untuk dipahami sebagai bukan fakta yang harus dipermasalahkan H. Nawawi.

Lain ceritanya, bila bunyi statement H. Nipan sama persis dengan bunyi statement H. Saprin, lalu di buku “Matahari Terbit di kampung Kami” saya tegaskan sebagai statement H. Nipan, sementara di buku H. Nawawi; “30 tahun Muhammadiyah Cabang Depok” statement itu disampaikan H. Saprin.

Masalah ini seperti jalan buntu sebelum akhirnya terurai pada satu waktu. Satu hari, saat H. Nawawi—mungkin sengaja datang menemui saya untuk meminta kembali buku "Matahari Terbit di Kampung Kami" yang sudah ditandai sebagai kesalahan fatal yang saya minta untuk saya pelajari catatan-catatannya—saya konfrontir dengan M. Ma’ruf soal sosok H. Nipan ini. Maka, terbukalah tabir “salah fatal” itu.

Rupanya, sosok H. Nipan yang diceritakan M. Ma’ruf dan saya kutip untuk dua buku saya itu bukan Nipan yang dimaksud H. Nawawi. Bila saya tidak keliru, Nipan yang dimaksud H. Nawawi pada kesempatan konfrontir itu Nipan orang tua H. Maarif, orang Rawadenok.

“Salah lu, Wi. Bukan Nipan itu yang gua maksud, tapi H. Nipan, guru ngaji, orang Cipayung, mertuanya Si Micang,” tegas M. Ma’ruf. “Nipan yang lu maksud mah bukan guru ngaji, juga belom haji,” tegas M. Ma’ruf sekali lagi.

Karena saya yang paling berkepentingan dalam masalah ini sebab persoalan “salah fatal” itu, saya tegaskan kepada H. Nawawi saat itu, clear soal H. Nipan yang dimaksud buku saya. Jadi, permasalahannya hanya soal siapa mengutip siapa. Dalam hal ini, H. Nawawi mengutip peristiwa H. Saprin yang mengatakan: “Antum rijalun wa nahnu rijal” yang dilontarkan tokoh ini saat berpidato di rumah Micang. Sedangkan M. Ma’ruf mengutip pernyataan H. Nipan, “Kalau Orang Muhammadiyah udah lebih paham Al-Qur'an dan Hadits, kalau kita kalah dalam urusan ini, jangan diam saja. Pukulan jalanin!” yang juga disampaikannya pada saat ceramah di rumah Micang.

Boleh jadi, kemungkinan kedua tokoh ini sama-sama melontarkan statement pada waktu yang sama dan forum yang sama di rumah Micang. Boleh jadi juga, kemungkinan H. Saprin dan H. Nipan berbicara pada forum dan waktu yang berbeda meskipun peristiwanya sama-sama berlangsung di rumah Micang. Hanya saja, H. Nawawi menangkap statement H. Saprin, sedangkan M. Ma’ruf menangkap statement H. Nipan.

Pada akhirnya, setelah proses konfrontasi sumber, “kesalahan fatal” justru ada pada H. Nawawi. Pertama, ternyata, Nipan yang disangka H. Nawawi sebagai Nipan orang tua Ma’arif bukanlah sosok H. Nipan yang dimaksud M. Ma’ruf sebagai H. Nipan guru ngaji, mertuanya Micang.

Kedua, sorotan “salah fatal” atas satu bagian dari buku “Matahari Terbit di kampung Kami” karena dianggap salah mengutip H. Nipan sebagai pelaku, bukan H. Saprin sesuai buku “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok” sudah kadung ditimpakan kepada saya. Sebagai kalimat menilai “salah fatal” yang telah dilontarkan dari mulut H. Nawawi, ia tidak bisa ditarik lagi.

Si cela est, que peut-on faire?|

Jakarta, 15 Mei 2025.
Siang yang lelah, di antara draft-draft baru.

Kesempatan Terakhir


Ucapan bela sungkawa KMMD. Flyer milik pengurus KMMD

Kalau saya jadi Pak Mutaqin, akan saya ambil kesempatan ini. Itu sekolah bagus. Ambillah kesempatan ini!

Dua puluh tahun yang lalu, mulutku seperti menelan sekam. Tak kuasa lisan hendak berkata. Tak kuat hati hendak berterus terang.  Ya, seperti itu, karena, beliau sudah kadung menganggapku guru kesayangan. Entahlah, mungkin itu hanya rumors yang sempat sampai ke telingaku. Atau hanya perasaan ge er-ku saja saat itu.

Akan tetapi, aku harus berterus terang, meski dengan suara terbata karena rasa sungkan, rasa hormat, dan posisinya yang aku tempatkan sebagai guru. Tidak ada lagi selain perasaan itu. Maka, kukatakan juga maksudku, maksud pamit mundur dari mengajar pada yayasan yang beliau pimpin. Aku menyatakan berhenti.

Hening. Senyap. Beliau diam membisu. Aku juga diam membisu. Kami berdua, seperti berbicara dalam diam. Beliau bertanya dalam diam. Aku menjawab dalam diam.

Beberapa menit berlalu, kami masih sama-sama diam. Itu jeda waktu yang masih aku ingat sampai hari ini. Aku kenang sepanjang aku melangkah pergi dari latar rumahnya sampai aku berteduh di latar rumah yang lain. Saling diam itu seperti peristiwa seorang ayah akan melepas anaknya merantau. Atau, seorang anak akan melepas ayahnya untuk menikah lagi dengan perempuan lain setelah ibunya pergi. Rela, tapi berat, berat rasanya.

Saat beliau bertanya di sekolah mana aku berlabuh, hatiku lega, wajahku berbinar. Rasa sungkan yang beku mencair seperti gumpalan es dibakar matahari yang terik. Maka, aku bilang, setelah melalui proses seleksi yang panjang, aku diterima di sebuah yayasan untuk posisi guru Sejarah Kebudayaan Islam.

Tiada aku duga, beliau berkata lugas, “Kalau saya jadi Pak Mutaqin, akan saya ambil kesempatan ini. Itu sekolah bagus. Ambillah kesempatan ini!”

Mendengar repsonsnya, diamku semakin beku meski perlahan meleleh, hangat, dan haru. Lalu, ada bulir menitik di kelopak. Dan, kurasa beberapa saat, bola mataku jadi berkaca-kaca. Buru-buru kupalingkan muka. Aku tidak ingin mataku yang berkaca itu ditangkap mata beliau.

Dan, aku melangkah pergi dengan bahagia. Semoga, beliau juga bahagia melepasku.|

“Innalillahi wa innalillahi rajiun.. Telah berpulang ke rahmatullah Buyut, Kakek, Bapak, Guru kami Bp. H. Kastubi, BA di RS. Awal Bros, Batam pd hari Senin, 12 Mei 2025 pukul 19.30. Mohon diampuni segala dosa beliau dan berkenan memberikan doa al-fatihah yg terbaik untuk almarhum.”

Demikian bunyi pesan yang masuk di beranda gawaiku kemarin malam. Seketika ingatanku terlempar pada peristiwa saling diam dua puluh tahun yang lalu itu. Teringat lagi saat kucium tangannya sambil berpamitan, pergi meninggalkan takdir di Nurussyamsi untuk menjalani takdir yang lain. Beruntunglah waktu itu aku membawa restunya.

Hari ini, Selasa, 13 Mei 2025, saat jenazahnya tiba untuk dishalatkan, kebisuan orang tua yang lembut ini abadi. Siapa orang tua yang paling lembut bicaranya padaku sepanjang aku bergaul, belum ada gantinya selain H. Kastubi. Hari ini, lembut saat beliau bicara itu, pergi, hilang, dan fana bersamaan jasadnya dikebumikan.

Jangan lagi ditanya garis hidupnya ada di mana. Jangan lagi ditanya jejak kedermawannya pada siapa saja. Dan, jangan pula ditanya komitmennya pada Qur’an dan Sunnah. Jawaban atas semua itu terekam baik dalam memori masing-masing orang yang mengenalnya.

Aku percaya, hadir dalam mengantar jasad kematian adalah kesempatan terakhir untuk manusia yang pernah berperkara. Besar atau kecil, sengaja atau spontan, sadar atau karena lupa. Setiap orang punya salah. Ini sunnatullah fil kaun yang berlaku sampai kiamat.

Maka, gugurlah semua perkara hari ini. Aku rida, semoga beliau rida. Ya, Allah, ridailah kami semua yang hadir menyaksikan, menyalatkan, mendoakan, dan menguburkan jasadnya. Ridai juga siapa saja yang mengenalnya, mereka yang tidak berkesempatan hadir karena keterbatasan ruang dan waktu yang tidak terelakkan. Asalkan doa-doa dipanjatkan, semoga sampai juga rida-Mu kepada kami semua.

Maka, Ya Allah, semoga beliau sudah memaafkan hamba pada kali terakhir kami bertemu entah di mana. Sebab, waktu yang kejam tidak memberi kesempatan bagi hamba bersua lagi dan meminta maaf sebelum kepergiannya kemarin. Meskipun maaf itu beliau utarakan dalam diam, seperti diamnya beliau dua puluh tahun yang lalu itu, tiada mengapa, asalkan maafnya sampai ke pangkuan-Mu.

Sebagaimana kewajiban kami yang masih hidup merelakan maaf atas salah dan khilafnya, terimalah doa hamba Ya Allah, “Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘aafihi wa'fu anhu.” Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, sejahterakan dia, dan maafkanlah segala kesalahannya."

Aamiin.

Selamat jalan guru, orang tua, dan pemilik bahasa yang lembut.

Depok, 13 Mei 2025.
Sore yang sejuk dengan rinai hujan yang luruh.