Autentik Teacher

Berada di antara peserta didik, Asni Rusli mahasiswi IIQ peserta PLP, dan Dosen Pembimbing Eka Naelia Rahmah, MA. Foto milik Asni Rusli.

Setelah menyelesaikan kuliahmu nanti, pulanglah. Makassar butuh guru SKI seperti kamu. Kamu bukan pseudo teacher, kamu autentik teacher.
HARI ini, Rabu 24 September 2025, hari terakhir mendampingi mahasiswi IIQ (Institut Ilmu Al-Qur’an) Jakarta. Asni Rusli menyelesaikan program Pengenalan Lapangan Persekolahan (PLP) dengan catatan kemajuan yang sangat berarti. Mumtazah.

Asni hanya salah satu mahasiswi IIQ Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama semester 7 (tujuh) dari beberapa pendahulunya yang mengambil lokasi Madrasah Pembangunan sebagai laboratorium praktik mengajar yang saya dampingi. Asni meninggalkan kesan tersendiri buat saya bahwa seorang guru seharusnya memang seorang pembelajar. Asni menunjukkan indikasi demikian.

Asni berhasil melalui proses kemajuan terampil mengajar Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang sangat baik. Setiap pertemuan saya catat kelebihan dan kelemahannya. Kelemahannya saya minta diperbaiki pada pertemuan berikutnya. Kelebihannya harus diperkuat dengan inovasi baru meskipun skalanya kecil semisal mengganti metode pembelajaran. Asni mampu menerjemahkan masukan-masukan itu pada kelas berikutnya.

Saya harus katakan ini. Bagaimanapun, saya pernah menjalani proses—dahulu namanya program PPL—pada 25 tahun yang lalu saat mengambil fakultas dan jurusan yang sama di UIN Jakarta. Pertama kali masuk kelas menjalani program ini, calon guru yang masih hijau —belum punya pengalaman real teaching—banjir keringat dingin sekujur dahi. Dua jam pelajaran yang hanya 80 menit seakan berlangsung berjam-jam lamanya. Akan tetapi, di tangan Guru Pamong yang smooth—seperti pamong saya dulu—semua proses bisa dijalani. Keringat dingin perlahan hilang, percaya diri tumbuh, bahkan punya tempat di hati peserta didik.

Saya tidak tahu kesan Asni saat saya mendampinginya dalam 15 kali pertemuan sebelum ia ujian. Dalam catatan saya, Asni terampil memanfaatkan berbagai pendekatan mengajar, penilaian autentik berbasis digital, dan memadukan games dan pembelajaran. Dan, ini kata kunci capaian Asni di PLP-nya. Rasanya, saya perlu banyak belajar lagi. Karena itu, Asni tidak pernah saya ditempatkan sebagai pseudo teacher di kelas saya.

Mengapa?

Umumnya, siswa menilai SKI subjek yang amat membosankan, susah, dan tidak menarik. Akan tetapi, Asni berhasil keluar dari spektrum itu dan berhasil menyajikan pembelajaran SKI dengan begitu menyenangkan. Sejak lima menit pertama ujian sampai akhir jam belajar, peserta didik masih riang, aktif dari satu aktivitas kelompok beralih menyelesaikan evaluasi berbasis games. Asni cerdik memanfaatkan jam belajar krusial dengan kecenderungan siswa seusia kelas tujuh yang umumnya menyukai games.

Apa penilaian saya pada Asni berlebihan? Tidak. Inilah pengalaman pertama saya menjadi Guru Pamong di mana pada akhir sesi, beberapa siswi menangis sebab Asni pamit bahwa hari ini adalah kesempatannya mengajar yang terakhir. Ada yang memeluk Asni, meminta tanda tangan, dan apalah lagi saya tidak tahu karena izin lebih dahulu meninggalkan kelas beberapa menit setelah bel berbunyi.

Kepada Dosen Pembimbing Asni, Eka Naelia Rahmah, MA saya sampaikan harapan agar Asni diarahkan konsentrasinya untuk mengambil SKI sebagai subjeknya nanti. Feel Asni sebagai guru SKI sudah dapat sejak ia baru mengikuti program PLP. Saya percaya, semua guru dengan mengampu subjek apa pun harus kreatif, inovatif, dan adaptif dengan perkembangan teknologi. Asni sudah cukup potensial di sini.

Eka Naelia Rahmah, MA yang juga dosen SKI, semoga melihat Asni seperti penilaian saya hari ini.

Selamat Asni. Setelah menyelesaikan kuliahmu nanti, pulanglah. Makassar butuh guru SKI seperti kamu. Kamu bukan pseudo teacher, kamu autentik teacher.

Rabu, 24 September 2025

Catatan guru SKI. Cepat sekali waktu bergulir. Rasanya usia sudah di ujung karier.


Momen Literasi Dan Pak Tohir


Dari kiri ke kanan: Artawijaya, Pustaka Al-Kautsar (moderator), Ahmad Faris BQ (CEO ImanPath), Hikmat Kurnia (Ketua IKAPI DKI Jakarta), dan Hadi Nur Ramadhan (Founder Pusdok Tamaddun) dalam Milad & Launching Buku Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”. Foto milik Artawijaya.

Bila mikroskop atau teleskop adalah perpanjangan dari penglihatan, telepon perpanjangan dari suara, maka buku “Menerbitkan Kebenaran” adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi Pak Tohir sepanjang usianya sekarang.

PADA Kamis, 4 September 2025, permohonan wawancara melalui pesan WA masuk ke ponsel. Dikirim oleh seorang guru SMA Swasta di Depok.Wawancara dibutuhkan untuk siswa yang sedang mengikuti program Exploring Dream Career. Siswa kelas 10 di sekolah tempatnya mengajar sedang membutuhkan narasumber penulis non-fiksi.

Semula ingin menolak. Pertimbangannya sederhana, rasanya belum pantas menerima permintaan wawancara untuk tema kepenulisan. Hanya karena wawancara itu untuk membantu siswa yang sedang menggarap programnya; “Exploring Dream Career“, tak kuasa menolak. Menolaknya, seperti menolak siswa sendiri. Apatah lagi, siswa ini ingin menjadi penulis.

Rabu, 10 September 2025, di lobby Madrasah Pembangunan, wawancara berlangsung hangat. Untunglah, diizinkan pula menggunakan ruang lobby yang nyaman itu untuk sesi wawancara ini. Beberapa pertanyaan kunci dan penting susul menyusul. Beberapa di antaranya soal trik, tips, dan jadwal menulis.

Saat ditanya, apakah punya jadwal khusus menulis? Saya jawab, tidak. Menulis bisa kapan saja dan di mana saja. Di kelas, di sela-sela menunggui murid mengerjakan ulangan, itu kesempatan menulis. Di kereta atau di atas pesawat saat perjalanan jauh, “jari-jari bergerak sendiri”. Apalagi pada waktu-waktu senggang, di situlah “keyboard menulis dengan sendirinya”.

Soal ide menulis, bila badan, otak, dan hati sedang fresh apa saja bisa ditulis. Tinggal dipilih, ide mana yang paling menarik dan punya values untuk diselesaikan. Jadi, waktu dan ide menulis itu fleksibel. Adakalanya ia datang sendiri tanpa diundang, adakalanya, diundang pun ia tak datang-datang. Akan tetapi, menulisnya tidak berhenti, terus saja mengalir seperti air.

Saat ditanya, apa modal utama agar bisa jadi penulis? Saya memilih modal yang paling murah; banyak membaca, telaten mengamati dan menghayati peristiwa serta fenomena, dan pengalaman melakukan sesuatu. Buku-buku fiksi maupun non-fiksi saya lahir dari sini.

Ada satu hal yang lupa saya sebut saat wawancara; yakni tidak buta huruf. Maksud dengan tidak buta huruf adalah punya skill menulis dan mau menulis. Bila skill menulis bagus tapi tidak mau menulis, tidak akan lahir itu tulisan barang satu kalimat pun. Bila kemauan menulis begitu besar yang besarnya segede gaban pun, tapi skill menulis belum punya, yang lahir cuma pertanyaan-pertanyaan: saya mau nulis apa, ya? Mulainya dari mana, ya? Setelah ini, apa lagi, ya? Kok, gak jelas gini, ya kalimatnya? Dan seterusnya, dan seterusnya. Maka, orang harus belajar dan berlatih menulis agar punya skill yang memadai untuk mewujudkan harapan menjadi penulis.


Nuraini Razak (disamping kanan saya) dan dua rekannya mendampingi sesi wawancara, Rabu 10 September 2025. Foto milik Nur Aini Razak.

Saya hampir setuju seratus persen, bahwa menulis itu bukan bakat, melainkan keterampilan. Karena menulis itu keterampilan, maka untuk menjadi terampil menulis, orang harus tekun belajar dan berlatih. Apa perlu punya guru menulis? Perlu, meskipun dengan autodidak orang bisa menjadi penulis, seperti HAMKA misalnya. Masalahnya, tidak semua orang bisa seperti HAMKA dalam hal tulis menulis.

Sesi wawancara cukup panjang. Sepersepuluh isinya disinggung di sini. Abéng Teubri, fotografer madrasah berbaik hati mengambilkan gambar kami di akhir sesi. Bila sesi foto di tangan ahlinya, yakin, tidak ada ada foto yang “tidur” sambil berdiri.|

Sabtu, 13 September 2025, Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok menggelar acara “Peluncuran Buku & Workshop Konten Digital”. Buku Kumpulan esai “Menjaga Nyala Api Pembaruan” tulisan kader-kader Muhammadiyah Depok diluncurkan dan dibincangkan.

Menyumbang tulisan berjudul Hilf al-Fudhul di Tanah Jawa dalam buku ini, sejujurnya untuk menjawab tesis “organisasi adalah perkara bid'ah yang tidak ada pada masa Nabi” yang sering dituduhkan sebagian saudara dari manhaj sebelah. Faktanya, pada usia 20 tahun, Muhammad SAW sudah berorganisasi sebelum diangkat menjadi rasul dengan keterlibatan beliau dalam Hilf al-Fudhul. Hampir semua kitab-kitab sirah menyinggung Hilf al-Fudhul. Jadi, dengan pendekatan sejarah, Hilf al-Fudhul sejatinya sudah menggugurkan tesis di atas.

Hanya saja, boleh jadi karena persoalan teknis, keterbatasan waktu, dan sumber daya, saat sesi perbincangan, buku “Menjaga Nyala Api Pembaruan” hanya dibincangkan “tipis-tipis”, bahkan terlalu tipis. Lain waktu, buku ini perlu dibedah lebih fokus, agak serius, laiknya acara bedah buku di mana yang dikupas benar-benar isi buku. Buku itu dikupas seperti menguliti mangga hingga keluarlah dagingnya.

Satu hal yang merisaukan, kesadaran literasi—dalam konteks menulis dan segmentasi perbukuan—anggota Persyarikatan Muhammadiyah Depok di semua level belum menampakkan kepedulian yang berbanding lurus dengan jargon yang diperkenalkan Muhammadiyah sebagai organisasi “Gerakan Pencerahan” yang gaungnya sampai ke “langit”. Sebagai anggota majelis, kerisauan itu terasa sekali, risau rasanya memanggul jargon “Gerakan Pencerahan” sementara jarak orang Muhammadiyah Depok dengan budaya literasi begitu menganga. Sedangkan pencerahan itu adalah kawan karib literasi. Sesi Tips dan Trik Menulis Sejarah Muhammadiyah Lokal yang saya bawakan pun terasa kurang greget.|

Sabtu, 20 September 2025 kemarin, berkesempatan menghadiri undangan khusus dari Penerbit Pustaka Al-Kautsar. Acara bertajuk Milad & Launching Buku Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”. Acara yang digelar di Ruang HB Jassin, Lt. 4 Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya, Jakarta Pusat agak unik bila dilihat dari angka 3 dan 6. Angka 36 usia dan milad Pustaka Al-Kautsar, angka 63 usia dan milad Pak Tohir, owner Pustaka Al-Kautsar. Dua angka yang unik dan keren bila dibolak-balik; 36 dan 63.

Undangan dikhususkan untuk para penulis, penerjemah, komikus, dan keluarga besar Pustaka Al-Kautsar. Meskipun sejak 2017 belum menulis lagi untuk penerbit ini, dihubungi via telepon oleh Ustaz Artawijaya untuk hadir, hati rasa berkembang-kembang, artinya saya masih direken. Ustaz Artawijaya, editor buku saya “Kiai Kocak vs Liberal” masih ingat saya. Ahahaha …

Sepanjang pulang, di atas Commuterline, buku “Menerbitkan Kebenaran Memilih Jalan Tengah dalam Arus Dinamika Dakwah di Indonesia” serius saya baca. Dan, tersentaklah saya, ternyata keluarga besar Pak Tohir itu masih ada aroma-aroma Muhammadiyah-nya, kuat aroma Al-Irsyad-nya. Boleh jadi, keluarga besar dari Hadramaut, Yaman, dari etnis Masyaikh ini sangat dekat dengan pemikiran Syekh Ahmad Surkati, ideolog Al-Irsyad dan pemasok pikiran-pikiran tajdidiyah. Jadi, ada dua arus pemikiran keagamaan keluarga besar Pak Tohir; Al-Irsyad dan Muhammadiyah.

Muhammadiyah dan Al-Irsyad memang punya hubungan historis yang cukup akrab. Dikisahkan, dalam perjalanan kereta api menuju Surabaya, Syekh Ahmad Surkati tertarik untuk berkenalan dengan seorang pemuda yang saat itu sedang membaca Majalah Al-Manar. Anak muda itu adalah KH. Ahmad Dahlan. Kedua tokoh ini kemudian menjalin persahabatan.

Keduanya, bahkan sempat mendiskusikan rencana mendirikan Muhammadiyah. Diskusi mereka berlanjut pada surat resmi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah kepada Syekh Ahmad Surkati pada Maret 1938 berisi pertanyaan tentang al-din, al-dunya, sabilillah, dan qiyas. Kalangan Irsyadi menyebut jawaban Syekh Ahmad Surkati untuk surat resmi ini sebagai “Fatwa kepada PP Muhammadiyah.” Muhammadiyah sendiri menggunakan jawaban Syekh Ahmad Surkati itu sebagai salah satu acuan dalam Sidang Tarjih 1938. Pada 1941, PP Muhammadiyah juga menulis kesannya, “… pandangan-pandangannya (Ahmad Surkati) memperkuat dan mendorong kebenaran perjuangan Muhammadiyah.”

Sebaliknya, Syekh Ahmad Surkati menyebut KH. Ahmad Dahlan sebagai wali Allah Ahmad dan Nashiruddin Dahlan. Syekh Ahmad Surkati mengatakan, “… Mereka mengembangkan hasil pemikiran KH. Ahmad Dahlan sebagai wali Allah dan pembela agama yang cerdik.” (Siaran Majelis Dakwah Al-Irsyad, No. 4, 1973, hal. 22-35; lihat juga Himpunan Putusan Tarjih, PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 1967, hal. 275-277). Narasi ini bisa dibaca pada https://www.alirsyad.or.id/ahmad-surkati-al-irsyad-dan-muhammadiyah/.

Ayah Pak Tohir, Allahuyarham Mochamad Bawazir adalah orang yang supel dalam bergaul dengan banyak tokoh agama Cilacap, baik dari kalangan NU, Masjumi maupun Muhammadiyah dan sering mendiskusikan soal-soal agama (hal. 18). Ini menunjukkan, bahwa ayah beliau adalah sosok yang sangat terbuka dalam pemikiran keagamaan.

Lebih dari itu, paman Pak Tohir, Allahuyarham Umar Bawazir adalah aktivis Muhammadiyah Kabupaten Cilacap sejak zaman Kolonial Belanda. Umar Bawazir bahkan berinteraksi dekat dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman, putra terbaik Muhammadiyah. Akhir hayat aktivis Muhammadiyah ini patut disebut heroik, patut disebut syahid. Umar Bawazir dituduh “ekstremis”, dituduh musuh negara. Peristiwanya berlangsung pada Agresi Belanda II kisaran 1947-1948 (hal. 12-13). Umar Bawazir dikabarkan di buku Pak Tohir ini gugur ditembus peluru Belanda sebab tuduhan “londo ireng”, alias pribumi Jawa yang berkhianat menjadi kaki tangan Belanda. Innā lillāhi wa-innā ilaihi rāji‘ūn.|

Buku “Menerbitkan Kebenaran” bukan saja enak dibaca. Bahasanya mengalir. Bangunan narasinya hidup, seakan melibatkan pembaca masuk dalam setiap peristiwa. Untuk hal ini saya tidak heran, sebagai buku otobiografi di tangan seorang dengan literasi menulis yang sangat kental, menulis bukanlah soal, meskipun Pak Tohir sendiri berkata menulis itu pekerjaan susah. Akan tetapi, pekerjaan susah di tangan orang yang tepat, ia menjadi mudah.

Menghadirkan pembicara sekelas Hikmat Kurnia (Ketua IKAPI DKI Jakarta), Hadi Nur Ramadhan (Founder Pusdok Tamaddun), dan Ust. Ahmad Faris BQ (CEO ImanPath), “Menerbitkan Kebenaran” menjadi lebih hidup. Hikmat Kurnia menyebut buku ini dengan kalimat sederhana, ”Membaca Pustaka Al-Kaustar, ya, membaca Pak Tohir. Membaca Pak Tohir, ya, membaca Pustaka Al-Kautsar”.

Buku di mata Hikmat adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi manusia. Bila mikroskop atau teleskop adalah perpanjangan dari penglihatan, telepon perpanjangan dari suara, maka buku “Menerbitkan Kebenaran” adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi Pak Tohir sepanjang usianya sekarang.

Sudat pandang Hadi Nur Ramadhan mengingatkan saya soal kriteria buku yang bagus menurut Bambang Trim. Meskipun Hadi beranjak dari Komik “Alam Kubur” karya Abu Mahdi—nama pena Pak Tohir—tapi kriterianya ngena banget. Hadi pernah memberikan komik itu kepada seorang perempuan di sebuah tempat. Perempuan itu mengenakan rok pendek—kata Hadi, dia tidak melihat paha perempuan itu, ia hanya tahu paha perempuan itu terbuka. Haaa, dasar anak muda.

Melihat judul komik itu, perempuan itu berujar, “Mas, judul bukunya serem, ya.” Entah apa yang ada di benak Hadi, diberikannya komik itu kepada perempuan ini. Hadi mengaku punya kebiasaan mencantumkan nomor HP pada semua koleksi bukunya. Apa yang terjadi, tiga bulan setelah itu, Hadi menerima telepon dari perempuan ini yang mengaku ia sudah mengenakan hijab, tergugah dari komik Abu Mahdi. Maka, bila saya sambungkan dengan kriteria buku bagusnya Bambang Trim, buku bagus itu punya tiga daya; daya pikat, daya gugah, dan daya ubah. Hadi mengabarkan kepada kita bahwa komik “Alam Kubur” punya daya pikat, daya gugah, dan daya ubah.

Apakah otobiografi “Menerbitkan Kebenaran Memilih Jalan Tengah dalam Arus Dinamika Dakwah di Indonesia” punya tiga kriteria tadi? Saya butuh waktu untuk menyelesaikan membacanya. Akan tetapi, daya pikat sudah tampak dari cover-nya yang artistik.


Artawijaya dan Ahmad Faris BQ dalam Milad & Launching Buku Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”. Foto milik Artawijaya.

Ahmad Faris BQ, penulis buku “Letters From Turkey” terbitan Salsabila, melengkapi substansi bedah buku Pak Tohir. Faris punya Islamic Historical Style yang sangat kuat sepanjang mengisi 20 menit bicara. Boleh jadi karena saya mengampu Sejarah Kebudayaan Islam di madrasah tempat saya mengajar, menikmati betul gaya Faris hari itu. Gaya Faris bicara kemarin, plek ketiplek dengan bahasanya yang renyah dalam “Letters From Turkey”. Kecerdasan verbalnya sama persis dengan kecerdasan penanya.

Sense of humor Faris juga hidup. Saat doktor lulusan Hubungan Internasional, Universitas Ankara, Turki ini bercerita tentang dialog seorang anak pada bapaknya penganut teori Darwin dan ibunya penganut paham Adam dan Hawa perihal dari mana asal-usul mereka, seperti membawa pulang tawa dari Taman Ismail Marzuki untuk diulang di kamar tidur.


Berada di antara para penulis Pustaka Al-Kautsar pada Milad & Launching Buku Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”. Foto milik Artawijaya.

Bedah buku yang berkesan di akhir pekan. Begitulah seharusnya buku dibincangkan. Alfu mabruk untuk Pak Tohir dan Pustaka Al-Kautsar. Selamat Milad ke-63 dan ke-36. Semoga bertambah berkah sebab menjaga nyala api literasi untuk mencerdaskan umat. Ini seperti momen literasi untuk saya dan Pak Tohir.|

Ahad, 21 September dengan rinai hujan yang berserak-serak.

Rindu





Ilustrasi rindu, kangen. (Gambar oleh Goran Horvat dari Pixabay)

Persaudaraan bukanlah semata-mata karena darah atau nasab, melainkan lahir dari hati yang tulus saling menaruh rindu. Ia tumbuh dari keikhlasan memberi dan menerima, dari kehangatan yang hadir tanpa syarat, seakan jiwa sudah lebih dahulu mengenal sebelum raga bertemu.

Beberapa titik di Jakarta chaos sejak demo mahasiswa di gedung DPR RI 25 Agustus 2025 berakhir ricuh. Demo berlanjut. Affan, driver OJOL yang meninggal ditabrak kendaraan Rantis Brimob saat demonstrasi berlangsung pada 28 Agustus menambah daftar catatan hitam aparat kepolisian di arena demonstrasi. Tragedi Affan menyulut kemarahan draiver OJOL bergolak-golak. Situasi chaos.

Chaos meluas ke Solo, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. Beberapa kota di Indonesia Timur juga chaos. Dipicu ucapan anggota dewan dari Nasdem Ahmad Sahroni yang menyebut rakyat yang meminta DPR dibubarkan sebagai “tolol” sedunia, Uya Kuya dan Eko Patrio dari PAN yang joget-joget saat tunjangan gaji anggota dewan naik, demo bermula dan menjadi bumerang.

Sahroni, Kuya, dan Eko bukan hanya memanen hujatan. Politisi artis yang mengemis suara rakyat saat Pemilu sedang menuai badai dari angin yang dia tabur sendiri. Suara hati permintaan maaf ketiganya tidak digubris, mungkin dianggap seperti suara kentut yang semakin membuat orang marah. Rumah mereka dirusak dan dijarah rakyat. Ungkapan “salamatul insan fi hifzil lisan”, bahwa keselamatan seseorang bergantung pada sikapnya menjaga lisan sedang dibuktikan lagi oleh sejarah.

Jakarta mencekam. Beberapa titik di Jakarta; Slipi, Petamburan, Senen, dan Kwitang menjadi zona merah. Perjalanan pada Jumat sore ke Pasar Senen, 29 Agustus bikin jantungku berdetak lebih keras dari biasanya.

Sepanjang berangkat, driver Grab terus memantau situasi. Beruntung sang sopir orang Sunter, Jakarta Utara dan tahu persis peta rawan Jakarta saat ini. Hatiku berkata, mengganti rencana berangkat dari Commuterline dengan Grab berisiko sangat signifikan dalam situasi seperti ini. Benar saja, jalan utama menuju stasiun Pasar Senen diblokir. Massa sudah berkumpul dari arah Timur menuju Senen, kemungkinan massa itu akan bergerak menuju titik chaos di Mako Brimob, Kwitang malam itu.

Saat mengambil rute alternatif melalui jalan Bungur, aku berbisik, kemungkinan perjalanan ke Jogjakarta batal. Beberapa ruas jalan sudah ditutup. Yang paling aku takutkan bila belum sampai di Stasiun Senen, situasi sudah benar-benar chaos dan aku terjebak tidak bisa kembali pulang.

“Mas, turunkan saya di titik paling dekat ke Stasiun Senen. Biar kami jalan kaki saja,” kataku.

Tidak ingin mengecewakan penumpang, sang sopir mengambil risiko. Melihat masih banyak motor menuju jalan yang dibokir ke arah stasiun, ia terus melaju. Ya Tuhan, keberuntungan masih bersamaku. Sampai juga di gerbang lobi stasiun. Alhamdulillah.|

Aku, Ella, dan Miray, putri kecil kami berangkat ke Jogjakarta untuk satu keperluan penting. Rencana keberangkatan dari dua bulan sebelumnya tidak bisa ditunda lagi. Ada persaudaraan menanti di Gungungkidul, ada rindu yang tertahan di Bantul, dan ada persahabatan yang harus dihangatkan lagi setelah sekian lama terpisah.

Persaudaraan bukanlah semata-mata karena darah atau nasab, melainkan lahir dari hati yang tulus saling menaruh rindu. Ia tumbuh dari keikhlasan memberi dan menerima, dari kehangatan yang hadir tanpa syarat, seakan jiwa sudah lebih dahulu mengenal sebelum raga bertemu.

Dalam persaudaraan, ada kekuatan yang selalu hadir. Saat dekat, ia menjadi penguat yang menegakkan langkah; saat jauh, ia menjadi alasan untuk saling mencari. Jarak hanya menguji, tetapi tidak pernah benar-benar memutuskan ikatan yang sudah terjalin.

Bahkan ketika berjarak, persaudaraan membuat jiwa saling merasa kehilangan. Ada ruang kosong yang tak bisa diisi selain oleh kebersamaan yang dirindukan. Namun jiwa tetap tersambung, seakan benang tak kasat mata menjaga hubungan itu tetap hidup.

Maka beruntunglah mereka yang memelihara nilai persaudaraan. Sebab dalam ikatan ini, jiwa terpanggil untuk saling membahagiakan, bukan saling menuntut. Di situlah letak keindahan; rasa dekat tanpa harus selalu bersama.|

Sabtu 30 Agustus 2025 kemarin, aku menemukan lagi ketulusan yang membahagiakan, kebahagiaan yang tidak lapuk meski kami berjauhan. Pertama dengan keluarga Ustaz Budi Nurastowo Bintriman, Allahuyarham di Gunungkidul.

Ustaz Budi dan Umi Ipit, seperti kakak tertua bagiku. Dari mereka aku belajar cara bagaimana bersyukur supaya hidup seakan tidak ada cela yang harus diratapi sesempit apa pun ujian hidup. Seolah-olah, Ustaz Budi dan Umi Ipit tidak pernah menemui jalan buntu. Ustaz Budi tetap survive meski “takdir baik” seolah tidak pernah berpihak kepadanya. Maka, kepergian Ustaz Budi yang secepat itu menjadi sosok yang selalu kurindukan kehadirannya lagi.

Selamat beristirahat dengan bahagia Ustaz, aku akan selalu menyambungkan kebersamaan kita melalui Umi, Liukan, Laskar, Liga, Lintang, dan Zaki. Atau jika satu waktu aku lalai, aku harap salah seorang dari orang-orang tercinta Ustaz ini yang menyapaku lebih dahulu.

Lalu di Jogjakarta yang kedua, Ella istriku meluruhkan kangen dengan keluarga Bude Hartinah melalui putra dan putrinya; Mas Riyan dan Mbak Nisa. Aku peluk Riyan saat bertemu dan berpisah. Ada isak bahagia Ella saat ia memeluk Nisa, gadis Bude Hartinah dan Pakde Yamta yang makin ayu dan dewasa.

Riyan yang dahulu bila bicara seperlunya saja, malam Minggu tadi malam senyumnya selalu mengembang saat kami mengobrol. Sekarang, sudah pula ia jadi laki-laki dewasa. Sebentar lagi pun, akan jadi seorang ayah, buah hati dari pernikahannya dengan gadis Bantul; Mbak Ria yang murah senyum. Selamat ya, Mas, Mbak. Semoga bayi dan kalian berdua sehat-sehat.

Dari Bude Hartinah dan Pakde Yamta, aku belajar bagaimana seharusnya bersikap kepada tetangga. Perhatiannya kepada keluargaku melebihi perhatian lazimnya status orang yang tinggal bersebelahan rumah. Mereka kerap hadir seperti saudara kandung untuk menghibur adiknya yang sedang murung. Aku banyak tahu dari Ella, istriku yang lebih banyak bergaul dengan Bude.

Meskipun Bude Hartinah dan Pakde Yamta tidak hadir, sudah cukup memuaskan rindu sejak perpisahan empat tahun yang lalu. Aku titip salam pada Riyan dan Nisa, bagaimana pun takdir yang sedang berlaku untuk Bude dan Pakde hari ini, rasa hormat kami kepada keduanya masih seperti dahulu, tidak ada yang berubah, cinta dan rindu akan selalu ada.

Malika, putriku yang berkenalan saat ia baru berumur 12 hari dengan Buda Hartinah, menyampaikan salam dan menulis surat rindu untuknya. Kami tidak tahu isinya. Barangkali, anak ini ingin mengadukan kesannya yang diperlakukan seperti anak bontot Bude dan Pakdenya.

Minggu, 31 Agustus di atas Fajar Utama Jogja.

Merdeka atau Terjajah

Ilustrasi milik: https://www.goodnewsfromindonesia.id/

Jiwa merdeka jauh lebih penting daripada kebebasan seremoni.
Beragam permainan hiburan dan lomba-lomba marak tiap kali Hari Kemerdekaan dirayakan. Boleh? Boleh —dalam bahasa agama hukumnya mubah—asalkan tidak mencederai norma, kepatutan, dan moral. Yang paling penting —sayangnya poin ini sering dilupakan—hiburan dan lomba-lomba itu punya muatan edukasi.

Islam tidak melarang secara ketat soal lomba dan hiburan selama ia tidak merusak akidah, tidak melanggar syariat, dan jelas batas-batas halal dan haramnya. Silakan menggelar lomba dan menghadirkan hiburan sepanjang ia sehat dalam timbangan syariat, norma, kepatutan, dan moral. Selesai.

Momen Hari Kemerdekaan memang identik dengan kegembiraan. Dari lapangan kampung sampai lapangan istana, semuanya gembira. Ada musik, joget-joget, dan lomba-lomba. Semuanya senang, semuanya tertawa-tawa.

Dahulu, para pejuang merebut kemerdekaan dengan derai air mata, darah yang tumpah, dan nyawa yang melayang. Lalu, pengorbanan para pahlawan itu dikenang beberapa menit saja saat “Mengheningkan Cipta” pada upacara peringatan 17 Agustus. Dikirimkanlah doa untuk mereka.

Bagi muslim, kiriman doa hening cipta kadang dengan persembahan bacaan sirr surah Al-Fatihah. Lalu, paduan suara atau alunan musik kolosal lagu Mengheningkan Cipta gubahan Truno Prawit mengiring Al-Fatihah itu. Siapa saja bolehlah sekadar bertanya, sejak kapan bacaan sirr surah Al-Fatihah atau doa untuk para syuhada diiringi dengan nyanyian atau musik instrumental? 

Sebagian kalangan, prosesi ini dinilai sebagai kearifan lokal. Bacaan sirr surah Al-Fatihah dengan iringan “Mengheningkan Cipta” adalah harmoni antara wahyu sakral dan seni dalam tata upacara. Begitulah sudut pandang masing-masing orang menilai.

Hanya saja air mata, darah, dan nyawa pahlawan itu lalu hilang dalam kenangan sesaat kiriman doa “Mengheningkan Cipta” selesai. Setelah itu, scene berpindah pada euforia. Anak bangsa tenggelam dalam sorak-sorai berbagai tradisi lomba dan pesta Agustusan yang beberapa di antaranya serba hedonis. 

Ada juga anak bangsa yang memaknai Peringatan Hari Kemerdekaan itu dengan sepi dari hiruk pikuk duniawi. Ia memulainya dengan berucap “alhamdulillah” telah merdeka lalu berkarya lagi pada masing-masing bidang pekerjaan seperti hari-hari kemarin sebelum Agustusan. Ia punya definisi sendiri atas lomba dan kegembiraan.

Lomba-lomba dalam pesta kemerdekaan layaknya bunga-bunga di pekarangan rumah. Ia dipandang perlu sebagai ornamen memeriahkan dan mempercantik rumah bangsa yang sebelumnya muram karena terjajah. Akan tetapi, ada catatan kritis bilamana lomba itu melibatkan interaksi lawan jenis, bentuk-bentuk lomba yang “berbau seksual”, atau lomba yang menimbulkan  kesan merendahkan martabat perempuan.

Catatan positif untuk panitia Agustusan yang menghadirkan lomba-lomba bernuansa edukatif, memantik kreativitas, inovasi, patriotisme, dan nalar kritis. Terutama lomba untuk anak-anak usia sekolah, usia di mana otak, hati, dan tangan mereka diberi sentuhan pendidikan, nilai-nilai sosial, menghargai perjuangan jasa-jasa para pahlawan, dan akhlak mulia. Ini lebih substantif. Tentu, lomba-lomba dengan karakter demikian itu diberi nuansa spirit islami sangat patut diapresiasi.

Satu poin lagi soal lomba, soal hadiahnya. Sedianya, lomba-lomba Agustusan itu simbol kerekatan antar sesama anak bangsa. Momen merajut kebersamaan dalam suasana gembira karena merdeka. Meskipun saling bersaing untuk berebut hadiah, hadiah itu nantinya diterima dengan gembira, dengan jiwa merdeka. Karena itu, jangan sampai persoalan hadiah malah membuka “konflik” soal remeh-temeh karena nilai hadiah dipandang tidak sepadan dengan bobot jenis lomba yang dipertandingkan. 

Jangan memindahkan “konflik” kolonialisme Belanda dan Jepang yang sudah berlalu itu ke dalam hadiah lomba kemerdekaan. Karena itu, panitia perlu menyediakan keterbukaan informasi soal jenis lomba dan besaran hadiah tiap mata lomba. Pastikan informasi itu sudah diketahui dan dipahami tiap peserta sebelum lomba digelar. Jadikan dia sebagai tafsir tunggal yang menutup pendapat penitia begini, pendapat yang menang lomba begono saat hadiah sudah diterima.

Hal yang paling panting, semeriah apa pun perayaan Hari Kemerdekaan dan segembira apa pun lomba Agustusan dihadirkan, jangan lupakan hakikat kemerdekaan. Jiwa merdeka jauh lebih penting daripada kebebasan seremoni. Bagi seorang muslim, merdeka itu leluasa menerima diri sebagai hamba Allah, bukan hamba seremoni.

“Al-’ubūdiyyatu lillāhi hiya haqīqatul hurriyyah. Fa man lam yata’abbad lahu, kāna ‘ābidan lighayrih”. Penghambaan kepada Allah itu adalah hakikat kemerdekaan. Siapa saja yang tidak menghamba kepada Allah, dia itu budak (terjajah) bagi selain-Nya. Demikian ungkapan Syaikh al-Utsaimin dalam Majmu’ Fatāwa wa Rasāil Fadhīlat al-Syaikh Al-Utsaimin.

Merdeka!!!

Sehari setelah 17 Agustus 2025.

Kyai Adung is Back?

Kyai Kocak. Narasi "Wajahmu" dalam karya komik. Komik milik Vbi_Djengotten.

Dalam panggung perbukuan, setiap masa ada tokohnya, dan setiap tokoh ada masanya. Sampai hari ini, “Kyai Kocak” masih menyepi sambil menikmati kenangan masa lalu yang yang terus bergulir menjauh.
“Buku apa yang paling menarik Anda baca?

Ini pertanyaan biasa, hampir setiap pembaca bisa menjawab. Boleh jadi jawaban tiap pembaca tidak sama, bergantung latar masing-masing. Akan tetapi, lain hal bila pertanyaannya demikian: “Buku apa yang paling menarik saat Anda tulis?”

Saya punya jawaban spesifik untuk pertanyaan kedua: “Kyai Kocak”, buku ringan dengan karakter “Kyai Adung”, tokoh fiksi yang kolot, tapi cerdas, juga jail. Dari semua buku saya yang sudah terbit, “Kyai Kocak” punya tempat tersendiri.

Setidaknya ada tiga momen yang menjadikan buku ini paling berkesan buat saya. Pertama, ini debut pertama menapaki ikhtiar menjadi penulis. “Kyai Kocak” adalah representasi isi pikiran saya merespons sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme (Sepilis) dengan cara yang jenaka, tapi, argumentatif dalam karya buku.

Kali pertama, “Kyai Kocak” menyapa pembaca melalui “ijtihad” self-publishing, ditangani Kang Dani Ardiansyah, pemilik Indie Publishing saat itu. Dari Indie Publishing, saya berkenalan dengan Vbi_Djenggotten, nama pena komikus Veby Surya Wibawa, ikon dari komik “33 Pesan Nabi”. Saya pernah bertemu Mas Vbi sekali di Cirendeu. Kami mengobrol sambil makan sop kambing. Kata Vbi, buku “Kyai Kocak” itu “komikal” banget.

Kyai Kocak” besutan Kang Dani sempat merebut hati pembaca. Satu waktu, saya iseng menyambangi beberapa toko buku Gramedia sekitar Jakarta Selatan dan Depok. Kepada “penunggu” Gramedia, pura-pura saya tanya-tanya soal “Kyai Kocak”. Rupanya, laku juga buku ini. Beberapa Gramedia stok “Kyai Kocak” bahkan sudah kosong.

Kedua, pertemuan saya dengan Woro Lestari di Facebook membuka jalan “Kyai Kocak” bertemu tokoh perbukuan nasional dan penulis-penulis berkelas di penerbit Pustaka Al-Kautsar. Ini adalah pengalaman mahal. Setidaknya bagi saya, penulis pemula yang belum punya bentuk bisa tersambungkan dengan Pustaka Al-Kautsar penerbit buku-buku Islam ternama dan penulis-penulis andal. Apatah lagi melalui Pustaka Al-Kautsar, “Kyai Kocak” dapat panggung Islamic Book Fair. Jadi, bertemu Pustaka Al-Kautsar adalah takdir kedua, panggung Islamic Book Fair dan royalti adalah berkahnya. 

Ketiga, forum akademisi INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) pernah memberi kesempatan saya mengulas buku ini dalam diskusi INSISTS Saturday Forum. INSISTS Saturday Forum itu forum ilmiah dan bergengsi. Narasumbernya cendekiawan kaliber nasional dan internasional yang getol membendung arus liberalisme. Pesertanya aktivis kampus, aktivis dakwah, dosen, dan peminat pemikiran kelas berat.

Saya memang sempat sering mengikuti forum ini sebagai peserta. Akan tetapi, diberi kursi untuk duduk sebagai narasumber di INSISTS Saturday Forum, itu “bagai memindahkan air ke bukit”. Bersyukurnya saat itu, sampai juga air itu saya pindahkan ke bukit meski dengan gemuruh dada seperti suara beduk bertalu-talu.

Begitulah dahulu “Kyai Kocak” pernah mengisi hati sebagian kecil peminat buku. Ia buku ringan yang penulisnya sempat merasakan “kursi angker” intelektual INSISTS Saturday Forum. Maka, pengalaman menarik menulis buku ini jadi dikenang lagi. Hanya saja dalam panggung perbukuan, setiap masa ada tokohnya, dan setiap tokoh ada masanya. 

^o^

Pukul 16.44 sore, Kamis 7 Agustus 2025, Mbak Aminah Mustari menyapa melalui WA. Lama sekali tidak tersambungkan dengan penulis keren di Pustaka Al-Kautsar ini. Maka dengan segera pesan saya balas. Syukur-syukur ada kabar yang melimpah berkah.

Kamis kemarin, 14 Agustus 2025 kami bertemu di bilangan Pondok Cina. Hampir satu jam kami berbincang menjajaki kemungkinan “membangunkan” “Kyai Adung” si “Kyai Kocak” yang masih semedi. Hanya saja, apakah “Kyai Kocak” masih kontekstual sebagai counter liberalism yang gaungnya mulai meredup?

Dahulu, “Kyai Kocak” turun gunung di tengah badai hiruk-pikuk liberalisme. Hari ini, angin liberalisme memang masih bertiup meski tidak sekencang 13 tahun lalu saat pertama kali “Kyai Kocak” bersilat lidah melawan liberalisme dengan caranya sendiri.

Boleh jadi, “Kyai Adung” harus dibisiki untuk menyudahi semedinya. Angin grafik liberalisme memang sudah melandai, tapi, grafik angin buzzer dan relawan pemuja tokoh politik sedang menggila dan kehilangan akal sehat. Ini realitas yang membikin gerah seperti gerahnya “Kyai Adung” kepada para pemuja Sepilis.

Sampai hari ini, “Kyai Kocak” masih menyepi sambil menikmati kenangan masa lalu yang yang terus bergulir menjauh. Lalu, akankah “Kyai Kocak” akan kembali turun gunung, Mbak Aminah?

Ciputat, Jum’at penuh berkah, 15 Agustus 2025.

Sungai Vertikal Rocky Gerung dan Tatal Pohon Yudi Latif




Dr. H. Sutrisno Muslimin (Ketua KPH Bakti Mulya 400) Rocky Gerung, Prof. Yudi Latif, Ph. D, dan Balques Manisang pada sesi berfoto usai acara Diskusi Panel. Foto milik Akun Instgarm Bakti Mulya 400.

Jalan tol makin panjang, jalan pikiran makin pendek.

Kejutan di Pagi Hari

“Saya ingin guru saya pintar-pintar. Guru saya terus bertumbuh. Mindset-nya tidak tetap, tidak fixed mindset, tapi growth mindset. … guru-guru saya kelihatan agak fresh hari ini. Karena hari ini, kita juga akan kasih gaji ke-15.” Sutrisno Muslimin, KPH BM 400.

Saya mengenal baik Sutrisno Muslimin, pemikiran, dan filosofi hidupnya. Maka, saat keinginan memiliki guru-guru pintar disampaikannya saat membuka Seminar Nasional dan Diskusi Panel bertajuk: "Membangun Kurikulum Etika Lingkungan dan Pembelajaran Mendalam Berbasis SDGs: Integrasi Filsafat, Nilai Kebangsaan, dan Kebijakan Berkelanjutan di Sekolah” Kamis, 10 Juli di BM 400, Cibubur, saya sudah tidak terlalu terkejut. Juga soal “gaji ke-15” itu.

Gaji ke-15 itu informasi di pagi yang cerah seperti ini sangat “mindful, meaningfull”, dan tentu “joyful” sebagai konteks apresiasi. Guru mana yang tidak semringah? Wahai guru BM 400, “Maka nikmat-nikmat Tuhan kalian yang manakah yang kalian dustakan?” Ahahahah.

Atmosfer “mindful, meaningfull”, dan tentu “joyful” yang ditebar Sutrisno itu semacam kedermawanan manusiawi. Ini filosofi bahagia untuk mencerna topik berat semisal SDGs (Sustainable Development Goals) yang dihubungkan dengan kurikulum. Jadi, seberat apa pun topik yang dibicarakan, asalkan ia dimulai dengan kegembiraan, beda hasilnya apabila memulai topik dengan hati kusut masai dan wajah muram meskipun topik yang dibicarakan seringan kerupuk kulit.

Sebagai peserta tamu pada diskusi ini, saya juga semringah. Sebentar setelah acara dibuka, Rocky Gerung dan Yudi Latif pasti akan menyajikan menu growth mindset. Sebagai tamu, ini nutrisi otak buat saya, “otak ke-15” yang saya inginkan terus bertumbuh.

“Tidak ada sekolah hebat, bila tidak diisi guru-guru hebat.” Sutrisno mengatakan itu di podium kehormatan saat dia membuka acara. Dihadirkannya Rocky Gerung dan Yudi Latif, itu jalan ikhtiar agar sapaan “guru hebat” itu punya nilai karena otak diberi nutrisi yang cukup. Jadi, “guru hebat” itu bukan sekadar sapaan basa-basi yang tidak punya korelasi dengan ikhtiarnya.

Sungai Vertikal Rocky Gerung

Balques Manisang, Host TV One sang moderator membuka acara dengan salam. Ow, rupanya Balques itu lulusan Universitas Islam Indonesia Jurusan Ilmu Komunikasi. Mengertilah saya, pantas salamnya fasih. Jurnalis ini dikenal sebagai reporter yang kritis dan berani dalam menyuarakan kebenaran. Diskusi panel ini jadi seperti perpaduan host, narasumber, dan topik panel yang presisi rasanya.

Rocky Gerung langsung menghentak nalar pada menit pertama bicara. “Jadi sebetulnya, menjadi guru artinya, menuntun negeri ini untuk tiba pada janji Proklamasi, mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru diberi beban itu oleh founding parents kita,” tegas Rocky.

Rocky lalu mengutip buku Yudi Latif yang memberi dasar filosofis soal ini: Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jadi menurut Rocky lagi, “tak ada keparipurnaan negara tanpa ada peran guru. Negara menjadi paripurna kalau di dalamnya ada kegiatan berpikir. Jadi kita terhubung dengan sejarah pendirian bangsa kita. Bung Karno adalah guru, Panglima Soedirman adalah guru, Bung Hatta adalah guru, Natsir adalah guru, Buya Hamka adalah guru, Sutan Sjahrir adalah guru. Jadi, keguruan itu sebetulnya fondasi epistemik dari negeri ini.” Begitu kata Rocky.

Bukan Rocky bila tidak membuat otak ini bergelombang. Filsuf dan Pengamat Sosial-Politik ini membagi pikirannya supaya orang ikut mikir problem yang dia sodorkan. Dibukalah hasil riset di Eropa oleh Rocky bahwa pendidikan di Indonesia hari ini berada pada status berbahaya. Karena dosen memplagiasi, karena dosen bermain, karena artikel bodong dipaksa masuk ke jurnal-jurnal predator—jurnal ilmiah yang memprioritaskan keuntungan finansial di atas kualitas penelitian. Jadi terlihat, bahwa ada jarak moral antara apa yang pernah dibayangkan oleh the founding parents dahulu, dengan yang dilaksanakan sistem pendidikan kita hari ini. Ini problem besar. Siapa yang bertanggung jawab pada kemandegan berpikir ini.

Begitulah Rocky. Dia tajam menyorot soal kemandegan berpikir ini dengan analogi: “jalan tol makin panjang, jalan pikiran makin pendek.” APBN dihabiskan untuk selesaikan tol, sementara kurikulum dibiarkan terlantar. Karena itu katanya perlu ada upaya untuk menghasilkan Indonesia kembali berpikir.

Rocky menyebut, setiap hari kita dilibatkan dengan kurikulum tanpa paham bahwa dunia sedang menagih kurikulum baru yang namanya environmental ethics, environmental logic supaya kita bisa cum island SDGs. Namun, pemerintah berupaya mem-playtener SDGs padahal sebetulnya mereka sudah gagal dari awal.

Karena hal yang paling strategis dari SDGs adalah memelihara konservasi lingkungan yang dua dekade diucapkan sebagai “New Kind of Revere”—orang yang menghormati alam bukan hanya lewat kata, tapi lewat tindakan nyata—di dalam kurikulum dunia. Akan tetapi, Rocky menyayangkan anak Indonesia, peneliti Indonesia, dosen Indonesia, pejabat Indonesia, menteri Indonesia, saat tiba di seminar-seminar global baik Asia dan Eropa, mereka “be do not speak environmental ethics” padahal karena grammer pengetahuan.

Otak saya mulai terang saat Rocky mempertegas paparannya yang terlalu filosofis serta kekayaan diksi yang seolah tidak ada habis-habisnya dia lontarkan dengan dunia sekolah. Rocky berkata, sangat bagus bila sekolah mengucapkan kepedulian lingkungan di kelas-kelas maupun di halaman sekolah sebagai bentuk kurikulum environmental ethics, environmental logic.

Rocky melansir kebijakan hijau yang digagas Kapolda Riau sebagai perbandingan. Dia tahu persis dan terlibat soal ini. Bayangkan, dalam sepuluh tahun terakhir, hutan di Riau tinggal 60 persen, sekarang tinggal 12 persen. Ini terjadi karena persoalan pengabaian environmental ethics, environmental logic. Di hulu pohon ditebang, di hilirnya para komisaris menikmati keuntungan dari proyek hilirisasi tambang. Hulu sungai ibarat sarang bagi-bagi rezeki segelintir orang tanpa paham apa itu environmental ethics, environmental logic.

Rocky menyinggung kasus ekstrem yang dialami Nauru. Tahun 2000 kata Rocky, Nauru masih menjadi negara terkaya di dunia karena kandungan kekayaan fosfat berlimpah yang dieksploitasi secara besar-besaran. Tapi, dalam dua dekade, Nauru menjadi negara bagkrut, menjadi negara paling miskin di dunia, dikirim makanan oleh PBB. Tanahnya rusak akibat eksploitasi sebab pemimpinnya tidak mampu berpikir ekologis. Indonesia punya potensi itu kalau pemimpinnya tidak punya kualitas leader, kalau pemimpinnya kualitas dealer.

Satu poin yang juga menghentak dari Rocky Gerung soal kurikulum yang berpihak pada etika lingkungan ketika dia mendefinisikan sungai versi kurikulum lama. Dalam kurikulum lama, sungai diartikan sebagai air yang mengalir dari hulu ke laut. Tapi hari ini, sungai yang tiba di muara adalah sisa-sisa dari sungai vertikal. Rocky melihat pohon itu sebagai sungai. Setiap satu batang pohon adalah sungai vertikal. Ini definisi sungai dengan cara berpikir ekologis.

Bagaimana bisa?

Dalam satu batang pohon, di dalamnya ada pembuluh kapiler. Oleh matahari, dipanggil tiba di daun melalui proses fotosintesis. Maka, terbentuklah klorofil atau zat hijau daun. Ditimbunlah di situ karbohidrat. Diuapkan pada malam hari menjadi karbon dioksida (CO2). Dan disejukkan di pagi hari karena pohon memproduksi oksigen (O2). Jadi, kita ajarkan kepada anak, bahwa konsep lama tentang sungai itu sudah berubah. Sekarang, setiap pohon adalah sungai, maka menebang pohon artinya mengotori sungai. Jauh betul lompatan logikanya. Tapi, itulah yang kita sebut do think the unthinkable yang tidak pernah terpikir kebanyakan orang.

Konsep-konsep seperti inilah yang dipertandingkan pada seminar-seminar internasional, soal lingkungan. Indonesia sibuk dengan hilirisasi. Rocky cerita ketika ditanya seorang mahasiswa saat dia memberikan kuliah di Warsaw, Warsawa, Polandia. Mahasiswa itu tahu bahwa hari ini Indonesia sedang mengupayakan proses nilai tambang. Artinya, musti ada energi bersih. Akan tetapi, pertanyaan ekologisnya adalah, proses hilirisasi itu di hulunya berkumpul para komisaris yang bagi-bagi rezeki tanpa paham apa itu etika lingkungan. Hak pengelolaan hutan dan tambang hanya diberikan kepada beberapa gelintir orang dari oligarki. Hutan di Riau yang tinggal 12 persen itu menjadi contoh jalan pikiran Rocky bahwa etika lingkungan diabaikan atas nama hilirisasi.

Terlalu padat poin yang disampaikan Rocky Gerung pada sesinya. Terlalu filosofis juga uraiannya sehingga agak payah saya mencerna. Pada bagian yang terlalu filosofis itu saya skip pada tulisan ini namun tidak mengurangi kekayaan pesan dari awal hingga akhir Rocky bicara. Saya cukupkan pada statement akhir Rocky tentang apa yang mesti dibekalkan pada anak-anak didik kita supaya suatu waktu mereka akan katakan “now to can talk BM 400 do speak environmental ethics.”

Tatal Kayu Prof. Yudi Latif, Ph.D

Melontarkan pertanyaan mumpung narsumbernya berkelas. Bertanya itu penting, jarang bertanya kecuali kepada narasumber berkelas itu pilihan. Foto milik Anisa Muthi.

Di awal sesi, Prof. Yudi Latif berangkat dari mengutip pendapat Hatta yang mengulas hubungan pendidikan dan kebudayaan. Khas akademisi, penerima Nabil Award dari Yayasan Nation Building pada 2012 ini memulai sesi dengan definisi. Akademisi ini berusaha menyatukan tema etika lingkungan dengan kurikulum deep learning, kebijakan keberlanjutan di sekolah, budaya, dan filsafat pendidikan.

Pendidikan dimaknai Yudi sebagai proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hidup. Jadi, pendidikan bicara tentang bagaimana proses memanusia. Apa yang diajarkan dalam pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri itu adalah proses pembudayaan. Di sinilah bedanya pendidikan dan pengajaran. Pengajaran lebih mengarah kepada kognitif atau skill.

Bila hewan umumnya belajar melalui nature (insting), belajarnya manusia tidak hanya lewat insting, tapi by nature, dengan budaya. Jadi cara manusia belajar dari kehidupan itu dimediasikan dengan kebudayaan dan juga mereproduksi kebudayaan. Oleh karena itu, setiap kita mulai belajar tentang kurikulum pendidikan, pada hakikatnya mencari tahu tentang yang koheren antara pendidikan dan kebudayaan. Dengan kebudayaan, manusia bisa memaknai sesuatu atau membuat sesuatu itu bermakna. Tanpa kebudayaan, hidup akan meaningless. Maka, pendidikan menjadi jembatan agar hidup manusia itu punya makna, punya budaya.

Sistem makna ini biasanya diungkapkan dalam nilai. Pertama manusia harus tahu nilai etis, soal mana yang baik mana yang buruk. Kedua, manusia harus tahu nilai ilmiah atau nilai logis, yakni soal mana yang benar mana yang salah. Ketiga, manusia juga harus tahu nilai estetis, soal mana yang pantas mana yang tidak pantas. Keempat, manusia juga harus tahu nilai pragmatis, soal maslahat dan mudharat. Pada dasarnya, pendidikan harus mengajarkan manusia nilai-nilai—etis, logis, estetis, dan nilai pragmatis—itu.

Yudi Latif menyebut empat nilai-nilai di atas sebagai empat kelopak bunga dengan satu tangkai. Tangkai dari semua nilai itu namanya spiritualitas. Yudi Latif mengaitkannya dengan mazhab Eduard Spranger yang menyatakan apa pun yang tampak dari peradaban kita—peradaban itu korup atau tidak, merusak lingkungan atau tidak—itu jelas-jelas cerminan dari jiwa budaya kita. Dan, inti dari jiwa budaya kita adalah nilai-nilai spiritual. Sementara Arnold Toynbee yang juga dikutip Yudi latif budaya itu berlapis-lapis. Lapisan paling luarnya adalah sain dan teknologi, di dalamnya lagi estetika, di dalamnya lagi etika, paling dalam lagi adalah visi spiritual.

Jalan berpikir ini sesuai dengan jalan berpikir filsafat think. Jadi, apa yang disebut sebagai berpikir, reasoning, nalar, itu sebenarnya hanya aspek paling permukaan dari kesadaran (uppermind). Di bawahnya ada kesadaran yang lebih mendalam yang disebut citta. Citta berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna kekuatan yang tumbuh dari dalam. Dalam istilah Islam, kekuatan terdalam itu namanya dzauq, qlabu. Qalbu itu instrumennya, dzauq itu epistemologinya, cara memperolehnya. Jadi, ada jenis pengetahuan didasarkan pada kemampuan mengakses inti terdalam dan daya intuitif. Dengan kemampuan spiritual manusia bisa melihat kebenaran seperti kristal.

Kekuatan-kekuatan daya spiritual ini biasanya diolah oleh kekuatan-kekuatan meditatif, riyadhoh atau latihan-latihan spiritual yang mengantarkan kita bisa menemukan semacam pancaran cahaya yang tadinya gelap tiba-tiba menjadi menyala. Biasanya daya spiritual ini membuat orang mampu memobilisasi energi rohani, membangun daya harmoni, dan membangun relasi kita dengan kosmos yang damai. Pancaran spiritual ini yang men-drive energi kreatif orang, harmoninya, dan daya hidupnya.

Ekspresi spiritual ini diarahkan pada tiga hubungan harmoni: dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Dunia atas ini yang ilahi, dunia tengah ini yang insani, dunia bawah ini alam semesta. Dalam konsep Islam ini yang disebut hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal ‘alam. Yang ketiga ini sering dilupakan, padahal Islam sangat menekankan relasi harmoni dengan alam. Dalam konteks ibadah haji misalnya, setelah memakai kain ihram ada larangan membunuh binatang dan menebang pohon.

Dalam konteks ini, Yudi Latif mengutip Al-Qur’an surah Al-An’am [4] : 38 sebagai kaitan term komunitas umat yang makna sebenarnya sebagai satu totalitas makhluk hidup. "Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu." Dalam konteks Indonesia dan Pancasila, tiga domain ini diwakili sila pertama tentang Ketuhanan, sila kedua Kemanusiaan, dan sila ketiga Persatuan; persatuan manusia dengan tanah airnya. Ketiga sila ini punya relasional yang kuat.

Hari ini, berbagai lembaga bisnis dan lembaga pendidikan mengajarkan Mindfulness —keadaan pikiran yang muncul dari perhatian yang disengaja, saat ini, dan tanpa penilaian. Ini adalah kemampuan untuk hadir sepenuhnya, menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar dan dalam diri kita pada saat ini. Coba sekali-kali saat mengajarkan berdoa kepada anak-anak bukan hanya doa’ yang dizahirkan, tapi masuk dalam ritme detak jantung dan berdoa dalam hening. Yudi Latif menyebut teknik hening cipta. Hening cipta merupakan instrumen untuk menjangkau aspek intuitif yang paling dalam yang akan memancarkan daya spiritual.

Maka sepanjang sejarah pendidikan, lima nilai-nilai: etis, logis, estetis, pragmatis, dan nilai spiritual lah yang konstanta diajarkan. Dan, namanya pendidikan itu seperti filosofi pohon, seperti ilustrasi dalam Qur’an surat Ibrahim ayat 24. Sebaik-baik manusia itu seperti pohon yang baik. Pohon yang baik itu akarnya kuat menghujam dalam, batangnya menjulang tinggi, kemudian berbuah sepanjang tahun.

Dalam konteks pendidikan, Yudi Latif menggambarkannya sebagai pohon pendidikan. Akarnya itu adalah karakter. Pendidikan tahap awal seperti PAUD seharusnya hanya belajar dasar-dasar menjadi manusia baik; seperti menghormati orang lain, mengapresiasi, membuang sampah pada tempatnya, dan belajar mandiri. Pada tingkat SD anak belajar dasar-dasar menjadi manusia pembelajar; seperti menulis, membaca, menghitung, menutur yang terkoneksi dengan nilai-nilai karakter. Lalu pada tingkat menengah belajar dasar-dasar ilmu pengetahuan. Sifatnya lebih generik memaparkan berbagai jenis ilmu pengetahuan dasar. Barulah masuk pada perguruan tinggi belajar menjadi manusia berwawasan generalis yang memiliki keahlian spesifik.

Akar pohon itu adalah nilai-nilai karakter, cabang dan rantingnya adalah keterampilan, skill, dan tata kelola, dahan yang rindang adalah kolaborasi-kolaborasi, barulah yang disebut buahanya itu adalah kreativitas dan inovasi. Maka, pendidikan itu menyasar manusia berkumpul dengan karakter, berkumpul dengan pengetahuan, berkumpul dengan skill. Inilah manusia yang harus dibangun dengan kurikulum apa pun.

Deep learning di mata Yudi Latif itu satu pembelajaran yang memberikan kajian pada proses. Setiap orang itu punya potensi dasarnya, punya moral perbes dalam hidupnya, punya passion-nya masing-masing, dan proses itu harus dihargai. Oleh karena itu, tidak semua hasil proses belajar harus diukur dengan skor yang anehnya di sekolah disebut nilai. Nanti, ada hal yang kontradiktif antara konsep deep learning dengan soal ujian berbasis multiple choice dan hasil asesmen dalam bentuk skor yang tidak mengukur secara utuh nilai estetis, nilai etis, dan nilai spiritual.

Paparan panel dari Yudi Latif saya akhiri dengan contoh yang dilontarkannya saat dahulu mendampingi anaknya sekolah di Australia. Ini tentang kurikulum berkelanjutan dan pembelajaran berwawasan ekologis. Ada pohon besar yang sudah tua. Sudah lama pohon ini mengayomi lingkungan di dekat sekolah. Saatnya tiba ia harus ditebang karena faktor usia. Dikhawatirkan apabila ada angin kencang, ia tumbang dan membahayakan nyawa banyak orang.

Di Australia, menebang pohon tidak seperti pembalak hutan di Indonesia yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan yang berkelanjutan. Tidak memedulikan environmental ethics dan environmental logic seperti yang diusungkan Rocky Gerung. Bayangkan, setelah pohon itu ditebang, anak-anak sekolah diajak hadir di pokok pohon. Mereka mengelilingi pokok pohon yang sudah tumbang itu. Mereka dituntun menyampaikan selamat jalan secara simbolik pada “sungai vertikal”yang selama ini telah setia menyuplai oksigen kepada mereka.

Tidak sampai di situ, setiap anak diberi beberapa tatal (pecahan kayu pohon) dibungkus tisu untuk dibawa pulang dan mereka menyimpannya di rumah. Apa maksudnya? Untuk menyambungkan jiwa anak agar mereka terus tersambung dengan pohon yang sudah berjasa itu pada kehidupan mereka meski sekarang pohon itu sudah tiada. Bukankah ini bentuk environmental ethics dan environmental logic pada lingkungan berkelanjutan yang paling dasar?

Saya kehabisan argumen untuk mendalilkan bahwa Rocky Gerung dan Prof. Yudi Latif, Ph.D membawakan panel ini luar bisa menarik. Tapi, harus jujur saya akui, paparan keduanya masih sangat filosofis buat saya. Butuh waktu jeda mencerna apa yang mereka paparkan untuk diterjemahkan pada tataran praksis. Akan tetapi, boleh jadi bagi Insan BM 400, Bung Rocky dan Yudi Latif sekadar menguatkan cita-cita pendidikan mereka yang sudah melompati batas pendidikan di Indonesia yang terlalu mainstream.

Tengkyu Pak Tris dan BM 400.

Depok, 12 Juli 2025.
Sabtu yang penat bersama flu yang belum mereda.

Kiai Dahlan Michael Fullan Abdul Mu’ti dan Insect Hotel

Saya dan Tim Penyelaras E-Modul MTs. Pembangunan Jakarta di Grand Zuri, BSD City. Foto milik Fauzan Salmanto.

Schooling without learning is a terrible waste of precious resources and of human potential" – The South Asian paradox. International Journal of Educational Development. Volume 103 2023, 102904.

Pada 2 sampai 4 Juli kemarin, berkesempatan menyerap paparan dari Nur Luthfi Rizqa Herianingtyas, M.Pd. Bu Rizqa —panggilan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini dalam kesehariannya— termasuk salah seorang dari Tim penyusun Naskah Akademik Pembelajaran Mendalam Menuju Pendidikan Bermutu untuk Semua yang digagas Mendiknas, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M. Ed. Bu Rizqa ada banyak mengulas soal deep learning. Untuk ini, saya perlu mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Fauzan, M.A. Direktur Pendidikan Yayasan Syarif Hidayatullah Jakarta yang mencantumkan saya sebagai peserta pelatihan.

Terima kasih ini bukan sekadar soal menikmati fasilitas di Grand Zuri. Atau, distingsi hotel di BSD ini yang menyediakan menu mie instan rebus atau goreng yang jarang ditemui di hotel-hotel lain. Pak Fauzan membisiki saya, hanya di hotel ini ada menu model begini, katanya. Ah, sebagai penyuka mie, saya ingin mencoba. Dan, hmmmm, rasanya sama dengan buatan istri saya di rumah, hanya beda kelas saja. 😂

Sejak masih di Grand Zuri menyimak paparan Bu Rizqa, saya teringat pemikiran pendidikan KH. Ahmad Dahlan. Seperti ada benang merah yang menghubungkan pemikiran pendiri Muhammadiyah itu dengan Michael Fullan dan Pak Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah saat ini. Saya katakan demikian, sepanjang membaca literatur Kiai Dahlan dan pemikirannya tentang pendidikan, serpihan jejak konsep deep learning bisa dijumpai di beberapa sumber. Memang tidak sama persis dan presisi, tapi spiritnya sangat jelas terbaca.

Sutrisno Kutoyo misalnya, dalam bukunya Kiai Haji Ahmad Dahlan pada halaman 69 memuat cita-cita Kiai Dahlan. Ditulis di sana, melalui Muhammadiyah, Kiai Dahlan ingin “Memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam, memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam bagi seluruh anggota-anggota.” Begitu bunyinya. Diksi “menggembirakan” yang dipilih Kiai Dahlan, serupa dengan “joyful learning”-nya konsep Pembelajaran Mendalam Mendiknas. Ini serpihan yang pertama.

Serpihan kedua bisa dijumpai dari kasus “Al-Maun” yang merekam protes Soedja', santri Kiai Dahlan. Kisah ini begitu populer di kalangan orang Muhammadiyah. Farid Setiawan, dalam bukunya Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah 1911-1942 pada halaman 269-270 ada merekam dialog santri Sodja’ dan Kiai Dahlan soal “Al-Maun” ini.

"Kiai, mengapa hanya QS. Al-Ma'un yang diajarkan pada kami?" protes Soedja'. Terjadilah dialog singkat antara kiai dan santrinya berikut ini:

"Apa kamu sudah mengerti betul?" tanya Kiai Dahlan kepada Soedja'.

"Kita sudah hafal semua, Kiai," jawab Soedja'.

"Kalau sudah hafal, apa sudah kamu amalkan?" tanya Kiai Dahlan.

"Apanya yang diamalkan? Bukankah surat Al-Ma'un pun berulang kali kami baca untuk rangkapan Fatihah di kala kami solat?” Jawab Soedja'.

"Bukan itu yang saya maksudkan. Diamalkan, artinya dipraktekkan, dikerjakan! Rupanya saudara-saudara belum mengamalkannya. Oleh karena itu, mulai pagi ini saudara-saudara pergi berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah dapat, bawa pulang ke rumahmu masing-masing. Berilah mereka mandi dengan sabun yang baik, berilah pakaian yang bersih, berilah makan-minum dan tempat tidur di rumahmu. Sekarang juga, pengajian saya tutup dan saudara-saudara melaksanakan petunjuk-petunjuk saya tadi."

Sekiranya saya tidak salah memahami tujuan dan pesan dari dialog Kiai Dahlan di atas, rasanya ia serupa dengan “mindful learning” dan “meaningful learning”-nya konsep Pembelajaran Mendalam Mendiknas juga. Dengan dua serpihan ini, sampailah saya pada satu kesimpulan bahwa sejak awal Kiai Dahlan sudah mewacanakan deep learning kepada santrinya dan pada pendidikan Muhammadiyah yang digagasnya meskipun tidak dinyatakan sebagai deep learning secara eksplisit.

Maka, menjadi tidak mengejutkan bila pada 15 Februari 1923, Kiai Dahlan meresmikan klinik kesehatan Muhammadiyah yang sekarang menjadi rumah sakit PKU Muhammadiyah Jl K.H. Ahmad Dahlan No. 20 Ngupasan Gondomanan Yogyakarta sebagai bagian dari proses pembelajaran mendalam, bermakna, dan menggembirakan dari QS. Al-Maun. Sebulan sebelumnya, Kiai Dahlan lebih dulu meresmikan Rumah Singgah untuk orang miskin, PKO (Poesat Kesengsaraan Omoem). Pada waktu itu, siapa saja yang merasa sengsara tanpa melihat suku, agama, ras maka wajib ditolong oleh PKO Muhammadiyah. Dan, 23 Februari 1923 Kiai Dahlan wafat dengan meninggalkan legacy proses dari deep learning yang menginstitusi.

Ada dua hal besar yang ditinggalkan Kiai Dahlan. Pertama, bahwa Muhammadiyah adalah implementasi deep learning itu sendiri. Kedua, bahwa pengajaran dan pembelajaran Islam harus bermakna, mendalam, dan menggembirakan yang menawarkan problem solving dari permasalahan aktual yang terjadi di masyarakat. Lahirnya PKO, Rumah Singgah, Panti Asuhan, Rumah Sakit dan berbagai Amal Usaha Muhammadiyah, rasa-rasanya tidak salah bila kehadirannya dinyatakan sebagai buah dari implementasi deep learning pengajaran Kiai Dahlan.|

Pembelajaran Mendalam gagasan Pak Mu’ti ini bertemu pula pada pemikiran Michael Fullan. Pemikiran Fullan tentang deep learning tampaknya banyak dirujuk oleh Tim Deep Learning Kemendikdasmen. Framework Dimensi Profil Lulusan (DPL) PM mengambil 6 kompetensi yang digagas oleh Fullan. “Deep Learning is the process of acquiring these six global competencies: character, citizenship, collaboration, communication, creativity, and critical thinking."

Pada aspek prinsip, pengalaman pembelajaran, dan kerangka pembelajarannya pun tampaknya merujuk Fullan. Fullan memang mengulas banyak hal tentang deep learning ini dalam karyanya "Deep Learning: Engage the World Change the World” yang terbit pada 2018.

Pesan yang disampaikan Fullan, deep learning itu bukanlah kurikulum, melainkan pendekatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran baru ini dibangun untuk membekali peserta didik dengan berbagai kompetensi global melalui pemecahan masalah kehidupan nyata. Jadi, pembelajaran didekatkan pada problem lingkungan sosial peserta didik.

Pendekatan ini melibatkan perubahan peran guru. Di sini, guru menjadi aktivator dalam merancang pengalaman belajar yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Jadi, peran guru lebih dari sekadar pengajar. Fullan juga menekankan bahwa deep learning bukan hanya tentang penguasaan konten, tapi juga tentang pengembangan karakter, kewarganegaraan, dan keterampilan abad ke-21 yang dikenal sebagai "6Cs" yang sudah disinggung di atas.|

V. B Kovač dkk, dalam “The Why, What and How of Deep Learning: Critical Analysis and Additional Concerns” menyebut mengapa deep learning ini penting. Pertama, untuk merespons masyarakat global modern yang berubah dengan cepat. Kedua, untuk memproses sejumlah besar informasi baru yang terus masuk. Ketiga, untuk menghadapi kemunculan teknologi-teknologi baru. Keempat, untuk memahami bentuk-bentuk pengetahuan baru dalam dunia yang kompleks.

Bagi V. B Kovač, deep learning itu mencari makna dan pemahaman dengan mengungkap pola yang dapat memperkecil jarak antara potongan-potongan pengetahuan yang tampaknya tidak berhubungan. Maka, deep learning memungkinkan proses transfer pengetahuan ke bidang mata pelajaran lain. Dengan demikian, deep learning memfasilitasi pemahaman mendalam peserta didik terhadap konsep-konsep yang kompleks.

Langkah-langkah yang ditawarkan Kovač bagaimana deep learning itu dijalankan, pertama secara bertahap peserta didik mengambil peran yang lebih aktif dalam proses pembelajaran mereka. Kedua, mempraktikkan apa yang telah mereka pelajari dalam situasi yang tidak familiar. Ketiga, melihat relevansi dan konteks, berpikir dengan cara baru, bersikap kreatif, dan penuh rasa ingin tahu. Keempat, mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam satu konteks ke situasi baru untuk menemukan solusi. Kelima, melihat keterkaitan antar mata pelajaran dan secara aktif melakukan refleksi terhadap proses belajar mereka sendiri maupun siswa lainnya. Keenam, perlu merumuskan pertanyaan serta mencari jawabannya melalui upaya kolaboratif.|

Entah, apa karena saya yang belum memahami betul konsep deep learning ini, deep learning terasa terlalu saintifik pada mulanya. Ia sangat cocok untuk mata pelajaran science semisal IPAS atau Matematika. Rasanya, untuk mata pelajaran seperti Al-Qur’an Hadits, Fikih, Akidah Akhlak, apalagi SKI, kerangka operasional deep learning masih berkabut karena banyak berada pada domain afeksi.

Apalagi, dalam workshop-workshop yang berhubungan dengan desain pembelajaran, Mapel Agama sangat minim contoh dokumen yang tawarkan narasumber. Sementara contoh untuk Mapel IPAS atau Matematika dari Sabang sampai Merauke bisa dihadirkan. Huh! always annoying! 😂😂

Maka, contoh yang dikemukakan Bu Rizqa di Grand Zuri itu tentang Insect Hotel (Hotel Serangga) hasil dari proses deep learning kelas 5 SD di Australia, bagi saya sangat mencengangkan, tapi juga sangat menarik, menantang, bahkan terlalu bermakna. Ini gila, pikir saya meskipun tetap seperti blind untuk subjek yang saya ampu.

Saya resumekan soal Insect Hotel itu di sini sedikit dari merenungi contoh ini. Jadi, ada problem yang harus dipecahkan para siswa. Problem utama yang disodorkan adalah tanaman petani yang dimakan hama dan penggunaan pestisida. Bayangkan, anak kelas 5 SD disodorkan problem ini dan guru mereka membimbing proses pembelajaran yang deep. Mereka diajak memahami dunia serangga, jenis, karakter, dan manfaatnya di lapangan. Demikian pula mendalami tentang manfaat dan bahaya pestisida bagi tumbuhan, serangga, dan lingkungan. Lalu, siswa diminta menawarkan solusi atas problem di atas. Rasanya, ini berat banget ya, bila konteksnya anak kelas 5 SD di negara Konoha.

Rupanya, serangga dan penggunaan pestisida punya problem turunan bila dihubungkan dengan hasil temuan anak SD kelas 5 itu dari proses pembelajaran mereka. Pertama, tidak semua hewan kecil (minibeasts) adalah hama. Kedua, serangga baik membantu menyerbuki tanaman, menguraikan flora dan fauna yang telah mati, membuat tanah menjadi gembur, dan menjadi sumber makanan bagi satwa liar lainnya. Ketiga, penggunaan pestisida akan turut membunuh hama-hama saleh yang beriman itu tanpa kecuali, sedangkan tidak menggunakan pestisida membiarkan hama jahat yang kafir-kafir dan durhaka itu bebas merusak tanaman petani.😪

Problem inilah yang diolah dalam proses pembelajaran mendalam hingga menemukan kesimpulan pemecahan masalah. Pertama, ciptakan lingkungan yang ramah bagi serangga baik dengan menanam banyak tanaman asli, bunga liar, dan tanaman herbal. Kedua, gunakan pengendalian hama bebas bahan kimia ketika hama mulai bermunculan.

Kesimpulan pemecahan masalah ini  yang memantik ide. Pertama, lahirnya inovasi  Insect Hotel. Dengan pemahaman mendalam, bermakna, menggembirakan, dan kolaborasi, anak kelas 5 SD itu membangun semacam rumah yang menarik semua serangga dari merusak tanaman petani pindah menempati Insect Hotel yang mereka bangun. Serangga-serangga itu, hama baik dan hama jahat hidup berdampingan di dalam habitat baru; Insect Hotle. Hama-hama itu juga selamat dari dampak penggunaan bahan kimia karena penggunaan pengendalian hama bebas bahan kimia. Kedua, lingkungan terbebas dari dampak buruk penggunaan zat beracun. Dan ketiga, tanaman bebas hama. Ajiib!|

Saya dan Kepala Madrasah, Pendidik dan Tenaga Kependidikan MIM 2 Cpayung, Depok usai sharing deep learning. Foto milik MIM 2 Cipayung, Depok.

Dua hari sebelum berangkat ke Grand Zuri, ada permintaan Kepala Madrasah dan Kepala Sekolah Muhammadiyah di Depok. Saya diminta membawakan topik "Deep Learning" dalam rangkaian acara Raker Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Sementara saya baru bersiap untuk berangkat menadah limpahan materi deep learning ini. Ya sudah, mainkan.

Karena sama-sama guru dan bukanlah pakar deep learning semisal Bu Rizqa atau Pak Djamal yang ketua IGI DKI itu, saya mengambil istilah sharing, "Sharing Deep Learning" dari hasil karantina tiga hari di Grand Zuri dan pengalaman mengajar. Masih berdiri sharing deep learning ini di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, dihubungi SMA Muhammadiyah 4 Depok, salah satu sekolah swasta favorit di Kota Depok untuk acara yang sama. Pusing kepala Barbie. Apalagi medannya adalah guru-guru SMA. Biarlah, yang penting saya menang tua dari guru-guru berkemauan itu. Haaa.

Saya suka sekali foto saat sharing deep learning di depan guru-guru SMA Muhammadiyah 4 Depok ini. Saya tampak langsing di sana. Terima kasih fotonya Bu Ika.😇

Klik! Neuron bekerja. Dendrit, bagian dari sel saraf neuron yang berbentuk seperti cabang pohon yang menerima dan meneruskan impuls saraf dari neuron lain atau dari reseptor sensorik ke badan sel saraf soma saya bekerja sepanjang menyiapkan materi sharing. “Sensor!”

Tiba-tiba saja saya teringat materi wudhu pada pelajaran fikih.

Ah, pendekatan deep learning bisa sangat scientific pada pelajaran fikih dengan pola kemitraan pada pelajaran IPAS. Guru fikih menggarap pemahaman mendalam dan kebermaknaannya. Sedangkan guru IPAS menggarap sisi menggembirakan dan aplikatifnya dalam praktik problem solving-nya.

Selama ini dari sisi fikih, berwudhu itu hanya soal mengangkat hadas kecil dengan air yang suci dan menyucikan. Asal sudah memenuhi syarat dan rukunnya, sahlah wudhu itu. Dan, pembelajaran berhenti sampai di sini.

Akan tetapi, daya inovatif dan kreativitas guru fikih yang kuat dapat melihat peluang pada hadits Nabi kepada Sa’ad. “Kenapa kamu memakai air banyak sekali ya, sa’ad?” Maka sa’ad berkata: ‘Apakah ketika berwudhu tidak boleh memakai air terlalu banyak?’ Beliau bersabda: “Ya, walaupun kamu berwudhu di sungai sekalipun.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).

Problemnya, tiap kali berwudhu, ada begitu banyak air yang terbuang mubazir. Boleh jadi, volume air yang terbuang lebih banyak daripada air yang digunakan untuk membasuh anggota wudhu saat tangan tidak menadah air yang mengucur dari keran. Fenomena ini terus berlangsung sepanjang hari. Apalagi pemahaman tentang hemat air ketika berwudhu belum merata di kalangan umat islam. Problemnya adalah, berapa volume air terbuang sia-sia dalam sekali wudhu, sehari semalam, seminggu, sebulan, atau setahun? Sedangkan mubazir itu temannya setan.

Saya belum mendapati model pembelajaran deep learning untuk memecahkan problem ini, tapi, bayangan di kepala saya, langkah-langkahnya tidak jauh berbeda dengan langkah-langkah pembelajaran Insect Hotel anak Kelas 5 SD di Australia itu. Jadi, guru fikih dan guru science bermitra pembelajaran, berkolaborasi untuk merancang pembelajaran mendalam berbasis problem mubazir air.

Di sini, siswa belajar mendalam tentang wudhu dan belajar mendalam tentang cara kerja keran air otomatis yang bisa mengalirkan dan berhenti secara otomatis menggunakan sensor untuk mendeteksi keberadaan benda di dekatnya. Belajar bagaimana mengaktifkan katup solenoid untuk membuka aliran air. Belajar tentang sensor yang akan mengirim sinyal untuk menutup katup. Hasilnya sistem keran yang bekerja otomatis, di mana saat tangan menadah keran, air mengalir. Saat tangan diangkat untuk membasuh anggota tubuh, air berhenti mengalir secara otomatis.

Yeey! Ajiib Pak Aqsol guru fikih yang keren. Gaskeun!|

Insect Hotel dan keran wudhu otomatis ini saya jadikan contoh bagaimana model pembelajaran deep learning dijalankan. Feeling saya meraba, dua contoh inilah yang membuka kunci pemahaman guru-gguru berkemajuan itu soal deep learning. Di sana saya menemukan “AHA moment” dari binar mata mereka yang menyala di akhir sesi.

Barakallah guru-guru pencerah, guru-guru berkemajuan. Tengkyu sudah ngelibatin saya kali ini. Kita semua punya tanggung jawab besar menihilkan "Schooling without Learning" di mana peserta didik sekolah tapi tidak belajar melalui pendekatan deep learning. 

Depok, 9 Juli 2025.
Di antara sesapan kopi dan kerut dahi menyelaras E-Modul with Deep Learning.